Cerita ini bermula dari beberapa hari yang lalu. Kapal Motor Nelayan (KMN) Prasasti yang dinahkodai oleh Sunaryo berencana kembali ke daratan setelah beberapa hari berada di perairan selatan Pulau Bawean untuk mencari ikan. Tiba-tiba, cuacanya menjadi tidak bersahabat. Angin kencang dan gelombang besar menghantam bagian depan kapal dan menjadikannya pecah sehingga kapal tergenang air.
Sadar kapalnya akan tenggelam, Sunaryo dan 16 nelayan lain yang ada di kapal itu segera mencari pelampung seadanya demi menyelamatkan nyawa mereka. Kapal pun akhirnya benar-benar tenggelam. Sunaryo bersama rekan-rekannya pun harus terombang-ambing di lautan. 50 mil dari lokasi tempat tinggal mereka di Lamongan.
Setelah tiga malam terombang-ambing di lautan, mereka pun akhirnya diselamatkan oleh KMN Sinar Baru Kragan. Para korban ditemukan setelah para nelayan di KMN Sinar Baru Kragan melihat mereka ketika tengah mencari ikan di lokasi yang sama.

Hingga kini, ke-17 nelayan itu masih dalam perawatan kesehatan untuk memulihkan diri. Imamur Rosyidin yang menjadi juru bicara mereka mengungkapkan jika setelah diselamatkan para keluarga korban melakukan penjemputan di Pelabuhan Karanganyar Jawa Tengah-Indonesia. “Keluarga korban menjemput didampingi oleh asosiasi nelayan dan juga kepolisian,” kata dia.
Bagaimana para korban bisa bertahan hidup selama tiga malam tengah laut hanya dengan pelampung seadanya? Informasi ini hingga kini masih simpang siur karena mereka sedang dalam perawatan. Diprediksi, mereka sempat menyelamatkan beberapa bekal makanan dan minum dari air hujan yang memang sempat turun deras beberapa hari lalu di area sekitar lokasi tenggelamnya kapal.
Lebih lanjut, Imamur mewakili para korban meminta agar pemerintah memberikan perhatian lebih terkait keselamatan para nelayan. Kecelakaan laut sering kali dialami nelayan. Ia berharap ada fasilitas maupun bantuan lainnya untuk menjamin keselamatan para nelayan.
Menanggapi kecelekaan yang sering dialami oleh para nelayan itu, pejabat Pemerintah Kabupaten Lamongan Yuli Wahyuono meminta agar seluruh nelayan mengikuti program asuransi untuk mereka. Hal ini dinilai akan sangat membantu ketika terjadi musibah.

“Premi asuransi itu sangat terjangkau. IDR 16,800 per bulan. Penting agar nelayan mengikuti program asuransi itu. Kita pun saat ini sedang melakukan pembahsan agar nanti premi asuransi untuk 25 ribu nelayan Kabupaten Lamongan bisa gratis dan dibayar oleh Pemerintah Daerah. Karena saat ini, alokasi bantuan premi asuransi gratis hanya ada dari Pemerintah Pusat yang jumlahnya hanya untuk kurang dari 1,000 nelayan,” kata Yuli.
“Manfaat asuransi tak bisa dirasakan saat ini juga. Tapi nanti akan sangat berguna jika ada musibah yang menimpa nelayan. Pekerjaan nelayan ini sangat beresiko. Pernah terjadi satu nelayan harus meninggal dunia karena kapal yang ia kendarai bersama 2 orang rekannya diterjang ombak. Masalah asuransi ini kami dari Pemerintah Kabupaten Lamongan selalu memberikan sosialisasi kepada para nelayan. Memang adanya kurang kesadaran yang harus terus ditinngkatkan,” ia menambahkan.
Di sisi lain, masalah keselamatan para nelayan di laut lepas turut menjadi sorotan bagi peneliti transportasi laut dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Muhammad Badrus Zaman. Ia menilai jika para nelayan perlu mendapatkan pelatihan terus menerus agar dapat mengoperasikan kapal dengan baik. Standard alat keselamatan bagi nelayan juga seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah maupun pihak pengelola kapal nelayan.
“Kapal nelayan seringkali tidak memenuhi peralatan komunikasi yang lengkap adalah salah satu contoh nyata kurangnya standard keselamatan untuk mereka. Padahal, keberadaan alat komunikasi ini sangat vital untuk keadaan darurat. Dari pengamatan saya, kapal nelayan sering kali hanya yang bisa penting mesinnya bisa nyala saja. Ini tentu sangat berbahaya,” kata Badrus Zaman.
Kejadian kecelakaan laut yang dialami para nelayan seharusnya menjadi pelajaran dan evaluasi bagi semua pihak. Standard keselamatan dan keamanan kapal harus menjadi perhatian utama dari semua jenis kapal. Baik kapak nelayan yang sederhana, hingga kapal induk yang dioperasikan oleh militer.
“Nelayan tidak boleh abai dengan standard keselamatan mereka sendiri. Kecelakaan laut tidak hanya disebabkan oleh cuaca buruk saja. Tapi bisa juga disebabkan oleh kondisi kapal, kerusakan pada permesinan dan kelistrikan, faktor kesalahan manusia, dan problem pada manajemen operasi,” jelas Badrus Zaman.

Peran pemerintah juga sangat penting. Dengan kondisi hidup sehari-hari yang layak dikatakan miskin, tentunya akan sangat berat bagi nelayan untuk melengkapi kapal-kapal mereka dengan peralatan komunikasi yang kayak.
“Jelas sekali nelayan menganggap alat komunikasi dan navigasi itu mahal dan tidak terjangkau oleh mereka sehingga mereka memilih tidak memasangnya. Kalau sudah begitu, maka jelas pemerintah harus hadir memberikan bantuan itu kepada mereka. Kontribusi bantuan alat komunikasi akan sangat berdampak positif bagi jaminan keamanan dan keselamatan nelayan,” pungkas Badrus Zaman.
Top photo credit: iStock/Wand_Prapan. Stock photo of shipwrecked boat.
All other photos credit: Imamur Rosyidin