Rencana pemerintah Indonesia untuk mulai melakukan kampanye energi bersih dan hijau menemui jalan terjal. Salah satu contoh nyatanya terjadi pada gagasan konversi kompor listrik untuk rumah tangga pengguna kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG) bersubsidi.
Melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), pemerintah Indonesia berencana mengkonversi penggunaan kompor LPG bersubsidi ke kompor listrik. Hanya saja, rencana yang diumumkan di akhir Bulan September 2022 itu langsung dibatalkan selang beberapa hari kemudian.
Awalnya, dikutip dari pernyataan resmi PLN pada waktu itu, Direktur PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan jika rencana konversi didasari niatan pemerintah untuk menghemat anggaran negara hingga IDR 330 milliar. Nominal itu adalah gabungan dari biaya subsidi yang dibayarkan pemerintah dan biaya produksi energi yang selama ini bergantung pada impor. Selain itu, keinginan pemerintah Indonesia untuk beralih ke energi bersih dan hijau tentu saja menjadi alasan lainnya.
PLN juga mengaku telah melakukan uji coba pada program itu. Kompor listrik senilai IDR 1.8 juta telah dibagikan ke ratusan ribu warga di Provinsi Bali dan Kota Solo selama proses uji coba.
Hanya saja, selang beberapa hari usai diluncurkan, PLN memutuskan untuk menunda program itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dalam kata lain, program itu sama saja dengan dibatalkan. Alasan dari PLN adalah demi menjaga kenyamanan masyarakat selama kurun waktu pemulihan ekonomi usai pandemi COVID-19.
Rahmawati, ibu rumah tangga dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, mengatakan kepada Maritime Fairtrade jika dirinya bersyukur terkait batalnya program itu. Kekhawatiran utamanya adalah daya listrik KPM yang terpasang di rumahnya hanya 900 Volt-Ampere (VA). “Kompor listrik informasinya memiliki watt yang besar, tentu akan jadi masalah ketika di rumah saya hanya 900 VA. Kalau jadi dikonversi, apakah saya harus mematikan semua perangkat elektronik termasuk lampu kalau mau memasak? Kok ya ada-ada saja kebijakan pemerintah itu,” ujarnya.
Berbeda dengan Rahmawati, Nur Suci, ibu rumah tangga lain di lokasi yang sama, justru setuju dengan gagasan PLN itu. Sayangnya, persetujuan dari Nur Suci hanyalah satir belaka.
Nur Suci mengatakan: “Ya tidak apa-apa. Bagus itu. Saya setuju konversi kompor listrik itu. Tapi ada syarat utamanya. Pertama, kompornya gratis dari pemerintah. Kedua, daya listrik di rumah saya dinaikkan gratis. Ketiga, ini yang paling penting, biaya listrik saya setiap bulan yang bayar Bupati Sidoarjo. Kondisi keuangan sedang susah begini kok malah pemerintah bikin rencana yang memberatkan masyarakat. Kalau bisa ketika sedang susah begini kebijakannya yang justru menyejahterakan masyarakat gitu kan bisa.”
Bima Arya, peneliti lingkungan hidup asal Surabaya, justru mengaku merasa heran dengan alasan konversi kompor listrik yang digunakan pemerintah. Hal itu karena menurutnya konversi yang dilakukan justru sama sekali bukan rencana yang menuju penggunaan energi bersih dan hijau. “Listrik di Indonesia ini sumbernya mayoritas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sangat membutuhkan batubara. Kalau rencana itu dijalankan, maka kebutuhan batubara akan jelas meningkat tinggi. Kalau sudah begitu, apa masih bisa dibilang energi bersih dan hijau?
Kalau memang pemerintah ingin memulai langkah konversi ke energi bersih dan hijau, yang harus mulai diubah adalah pembangkit listrik di hulunya terlebih dahulu. Kalau yang ingin diubah adalah di hilirnya, ya sama aja sia-sia,” kata Bima.
Lebih lanjut, Bima justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak lebih mengedepankan penggunaan gas bumi milik Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk rumah tangga. “Saat ini, gas dari PGN masih bisa dibilang jauh lebih bersih dan hijau jika dibandingkan dengan listrik dari PLN. Kalau memang tujuan utamanya adalah energi bersih dan hijau maka harusnya instalasi saluran gas bumi yang ditingkatkan,” tegasnya.
Di sisi lain, Wawan Widodo, peneliti salah satu energy watch di Sidoarjo, justru merasa kecewa dengan pembatalan rencana pemerintah itu. Kekecewaan ini menurutnya didasari dengan kondisi Indonesia yang masih membutuhkan impor LPG hingga sebesar 70 persen dari kebutuhan nasional. Selain itu, ia juga berpandangan jika masyarakat bisa berhemat sekitar IDR 8.000 per kilogram LPG apabila beralih ke penggunaan kompor listrik.
Wawan mengatakan: “Tapi memang keputusan kali ini adalah keputusan yang paling bijak untuk digunakan saat ini. Pembatalan harus dilakukan agar tidak menimbulkan polemik yang terlalu parah di masyarakat. Ke depannya nanti terserah pemerintah mau konversi ke energi bersih dan hijau yang seperti apa.
Melihat besarnya polemik yang terjadi dari kasus yang ada, sekarang yang bisa memutuskan terkait rencana konversi energi bersih dan hijau untuk rumah tangga ini hanyalah Presiden Joko Widodo. Kalau tidak ada arahan langsung dari presiden, saya yakin tidak akan bisa,” kata Wawan.
Top photo credit: Pexels/ Katerina Holmes