Pertumbuhan yang eksponensial dalam perdagangan narkoba telah mencapai tingkat yang berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya, mengancam hukum dan ketertiban global. Jiwa bisnis, milisi bersenjata berat, dan lingkungan yang kondusif. Ketiga hal tersebut merupakan kombinasi mematikan dari keunggulan kompetitif yang unik yang menjadikan Golden Triangle, 950.000 km2 dari wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Myanmar, Thailand dan Laos, sebagai pusat produksi dan penyelundupan obat-obatan sintetis terbesar di Asia.
Oleh Lee Kok Leong, Editor Eksekutif, Maritime Fairtrade
Produksi dan perdagangan narkoba telah lama menjadi masalah di Golden Triangle, di mana kurangnya tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum telah lama terjadi. Dalam beberapa dekade ke belakang, heroin dan opium menjadi pilihan narkoba yang utama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, narkoba yang berasal dari tanaman telah digantikan oleh jenis sintetis karena tingginya keuntungan, khususnya metamfetamin yang mendominasi pasar obat-obatan terlarang di Asia Timur dan Asia Tenggara, kawasan dengan pertumbuhan pasar sabu terpesat di dunia.
Tahun lalu, penyitaan sabu di Asia Timur dan Asia Tenggara mencapai 140 ton, dan tahun ini, walaupun dunia mengalami lockdown akibat pandemi, penyitaan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan hanya dalam jangka waktu tiga bulan, sejak Juni ke Agustus.
Ini hanya puncak gunung es karena, bahkan dengan catatan penyitaan yang ada, harga sabu nyatanya masih rendah sementara kualitasnya tetap tinggi. Yang ada hanyalah spekulasi mengenai berapa banyak narkoba yang telah lolos deteksi dan beredar di masyarakat, menghancurkan kehidupan banyak individu dan memicu terjadinya tindak kriminal.
Jangkauan global, pengetahuan lokal
Pertumbuhan yang eksponensial dalam produksi dan perdagangan sabu, dan keuntungan besar yang dihasilkan, telah mencapai tingkat yang berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama didorong oleh evolusi dalam model bisnis yang mampu mengikuti perubahan zaman.
Sebagai contoh, sindikat kejahatan teorganisasi transnasional telah bekerja sama dengan kelompok etnis lokal bersenjata dan tentara pemberontak, melibatkan teknologi untuk mensintesis pasar narkoba dan meningkatkan produksi.
Di saat yang sama, jenis gembong narkoba yang baru, yang lebih sering berpikir dan bertindak seperti CEO global, telah memulai inovasi dan praktik manajemen yang lebih maju ke dalam model bisnis mereka dan membuat mereka lebih kuat dalam menghadapi upaya-upaya penegakan hukum. Mereka juga cukup cerdas untuk memanfaatkan konektivitas regional yang lebih baik dan rantai pasokan yang legal untuk memindahkan obat-obatan mereka secara ilegal.
Berbagai geng memahami tingginya risiko yang ada dan jarang saling terlibat konfrontasi satu sama lain, sehingga menjaga ketenangan dan kestabilan di kawasan tersebut karena hal itu sangat penting untuk pertumbuhan dan kesejahteraan bisnis. Mereka bertindak layaknya mitra dan bukannya saingan bisnis.
Di Golden Triangle terdapat juga pertemuan faktor-faktor lain yang mendukung perkembangan perdagangan narkoba: ratusan kasino yang diawasi dengan longgar untuk pencucian uang; pasokan tetap bahan kimia dari negara sekitar seperti Tiongkok dan India; budaya korupsi yang mengakar; medan hutan yang berat yang cocok untuk bersembunyi dan menghindar yang sedikit mirip dengan kerangka kerja penegak hukum; dan kurangnya kebijakan pemerintah yang mengatasi penyakit sosial yang mendorong perdagangan narkoba.
Bom waktu yang berdetak
Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan memperkirakan bahwa perdagangan narkoba di kawasan tersebut tahun lalu menghasilkan keuntungan sekitar USD 71 miliar, dengan sabu mencapai USD 61 miliar, empat kali lipat dari angka enam tahun lalu.
Kini, sabu telah menjadi tulang punggung keuangan kartel-kartel Asia. Obat-obatan yang berasal dari Golden Triangle tidak hanya diselundupkan dan dijual di dalam kawasan tersebut tapi lebih jauh ke Asia Timur, Asia Selatan, Australia dan Selandia Baru. Secara keseluruhan, perdagangan narkoba di Golden Triangle terus berkembang terlepas dari adanya pandemi. Profesionalisme dan kemampuan kartel untuk berkembang memungkinkan terjadinya tren ini.
Baru-baru ini, beberapa laporan menunjukkan bahwa kartel Meksiko terkena dampak pandemi dan tidak dapat memperoleh bahan kimia precursor, bahan penting untuk memproduksi sabu, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan Amerika Utara. Terdapat spekulasi bahwa salah satu pesaing Asia yang dikenal sebagai Sam Gor masuk dan menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan pangsa pasar mereka.
Sam Gor, yang juga dikenal sebagai The Company, memiliki laboratorium obat-obatan di Golden Triangle dan merupakan salah satu kartel narkoba terbesar di dunia. Pihak berwenang memperkirakan bahwa mereka menghasilkan pendapatan sebesar USD 8 milliar dan USD 17,7 miliar dari sabu di tahun 2018. Selain itu, The Company juga diduga bertanggung jawab dalam memimpin peralihan narkoba yang berasal dari tanaman ke obat-obatan sintetis.
Melihat ruang lingkup permasalahannya, diperlukan upaya yang mendesak dan terpadu dari pemerintah di kawasan yang terdampak. Para pemimpin harus mengakui fakta bahwa krisis narkoba di rumah mereka sendiri telah mempengaruhi kawasan secara lebih luas. Yang paling penting, dibutuhkan kemauan politik untuk menghentikan bom waktu yang segera meledak ini.
Jika terus dibiarkan, perdagangan obat terlarang akan begitu mengakar dan terintegrasi ke dalam ekosistem sosial dan ekonomi lokal sehingga kartel narkoba akan semakin sulit dikalahkan.