Dosen yang juga peneliti kelautan dan perikanan dari IPB University, Adriani Sunuddin, M.Si, mengungkapkan pentingnya dunia kelautan dan maritim di Indonesia untuk inline dengan kemajuan teknologi, yang terus bergerak dari waktu ke waktu. “Karena kondisi terkait pemanfaatan teknolgi maritim di Indonesia, bisa dibilang sudah cukup pelik,” tutur Andriani Sunuddin kepada Maritim Fairtrade, Rabu (10/12/2022), menanggapi beberapa peristiwa yang bermula dari lengahnya pemanfaatan teknologi.
Peristiwa yang belum lama terjadi pada tahun ini adalah tragedi kapal penumpang KM. Glory Mary di kawasan perairan Talaud, Sulawesi Utara. Kapal tersebut lengah dalam mendeteksi kondisi underground perairan sehingga clearance kapal tersebut menghantam karang. Sang nakhoda yang seharusnya mengetahui di hadapannya adalah perairan dangkal, malah merasa perairan yang dihadapinya baik-baik saja. Kemudian dia pergi ke toilet dan akhirnya kapal pun kandas.
Berdasarkan data yang dihimpun, Kepala Kepolisian Sektor Lirung, Sulawesi Utara, AKP Ferry Padama, mengungkapkan pihaknya telah memeriksa semua peralatan KM. Glory Mary, mulai dari mesin, alat navigasi, GPS, semua dinyatakan aman tanpa masalah. Namun rupanya kelalaian Mualim Satu KM. Glory Mary, Junimus Sirape (53), yang menyebabkan kapal tersebut berjalan tanpa menghindari bahaya yang ada di depannya.
Sementara belum sepekan lalu atau 8 Oktober 2022, di Mississippi, Amerika Serikat, sebuah kapal pesiar dengan nama Viking memutuskan untuk tidak memasuki kawasan perairan daerah tersebut, lantaran terhalang oleh kapal tongkang yang berhenti tak jauh dari haluannya. Kejadian itu tepatnya di Sungai Mississipi, dimana kondisi perairan saat itu sedang surut. Akhirnya Viking, kapal pesiar yang mampu mengangkut hingga 386 orang penumpang yang baru dibuat pada tahun ini tersebut, memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Tampak dari dua peristiwa tersebut adanya human error yang membahayakan. Kejadian KM. Glory Mary lebih buruk dari Viking, karena sampai berujung pada karam, meski tidak sampai memakan korban jiwa. Sementara Viking meskipun tidak karam -karena beruntung di depannya ada kapal tongkang yang kandas terlebih dulu, namun tetap saja bisa berujung pada tragedi. Seandainya kapal tongkang tersebut tidak kandas, maka boleh jadi Viking yang akan kandas menghantam underground sungai.
Maka yang sangat perlu diperhatian oleh setiap awak kapal, baik kapal penumpang, kapal pesiar, logistik dan pengiriman, hingga kapal nelayan, adalah kewaspadaan dan membuang sikap abai di dalam diri. Karena bila hal tersebut tidak selalu ditanamkan bahkan diabaikan, bukan tidak mungkin ke depannya akan terjadi tragedi-tragedi lainnya di laut, yang juga berpotensi memakan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar.
Kembali kepada peliknya kondisi yang diungkap Adriani Sunuddin, lantaran mengacu pada perkembangan kemampuan mendeteksi otomatis di laut, dan kebutuhan abad 21 untuk lintas laut dan navigasi yang aman. “Bahkan sebetulnya IMO dan UKHO sudah menginisiasi rencana target implementasi penuh ‘electronic nautical chart and electronic chart display’, yang target penerapannya pada 2026,” ungkap Adriani. Adapun UKHO (United Kingdom Hydrographic Office) adalah pihak yang mempublikasi Peta Admiralty.
Pekan ini Adriani baru saja menyelesaikan risetnya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam hal teknologi peta laut dan infrastruktur navigasi. “Pemetaan ini yang penting untuk mitigasi kelestarian ekosistem pesisir, seperti terumbu karang, lamun, mangrove, dan lainnya,” ungkap Adriani.
Alih teknologi
Untuk keperluan pemutakhiran teknologi, UKHO bahkan berencana untuk menarik portofolio dari ADMIRALTY Standard Nautical Charts (SNCs) dan Thematic Charts. Hal itu lantaran semakin banyak praktisi kelautan, angkatan laut, dan juga pelayaran rekreasi yang menggunakan produk dan layanan digital untuk navigasi. Penarikan bertahap peta kertas dari proses produksi, akan berlangsung selama beberapa tahun dan diperkirakan akan selesai pada akhir 2026.
Dalam keterangan resminya, Chief Executive UKHO, Pieter Sparkes, mengatakan bahwa proses penarikan itu akan dilakukan secara hati-hati, dilakukan dalam hubungan erat dengan semua pelanggan dan pemangku kepentingan, termasuk MCA (Maritime and Coastguard Agency), serta badan pengatur lainnya.
Peter Sparks melanjutkan, pada 1795 ketika UKHO didirikan, saat itu, pelaut menavigasi pelayaran melalui bintang-bintang, menggunakan kompas magnetik dan survei. Namun sekarang, dimana setiap aspek kehidupan modern didorong oleh teknologi, para pelaut menggunakan layanan satelit navigasi global.
“Menarik diri dari produksi bagan kertas akan memungkinkan kami untuk meningkatkan fokus kami pada layanan digital canggih, yang memenuhi kebutuhan pelaut saat ini,” papar Pieter Sparks.
Dari keputusan UKHO tersebut, tampak pula bahwa aspek-aspek maritim dan kelautan mulai menajamkan perhatian pada pentingnya akurasi oleh bantuan teknologi. Implikasi dari hal itu adalah SDM yang sejalan dengan perkembangan teknologi, termasuk menanamkan keterkaitan tugas dengan dukungan teknologi.
Sehingga apabila sumber daya manusia di bidang maritim dan kelautan masih lengah terhadap pemanfaatan teknologi, maka target implementasi 2026 tersebut bisa jadi sia-sia. Dan khususnya di Indonesia, tantangan untuk bisa ‘inline’ dengan implementasi tersebut, menurut Adriani, masih berat. Beratnya tantangan itu, salah satunya, lantaran masih belum banyaknya SDM perkapalan yang berkualitas tinggi. Sehingga perlu adanya kerjasama antar semua pihak, terutama para penyelenggara pendidikan di bidang transportasi laut dan bidang kelautan.
Top photo credit: Pexels/ Ibrahim Boran