Tak hanya di Indonesia, bila kita berkesempatan menjelajahi kawasan pesisir lainnya di belahan dunia pun, akan mudah ditemui kondisi masyarakat yang boleh dibilang memprihatinkan. Sehingga bila digeneralisir, tak salah juga pula bila banyak yang menarik kesimpulan bahwa kondisi masyarakat pesisir, rata-rata menyedihkan. Lantas bagaimana kondisi di Indonesia? Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah, Jakarta, sekaligus salah satu petinggi lembaga nonprofit Pandu Laut Nusantara, Suhana, memastikan bahwa saat ini terdapat tiga tantangan yang sedang dihadapi.
Ketiganya adalah penurunan keanekaragaman hayati secara global, perlunya memberikan nutrisi kepada populasi yang terus bertambah, dan terakhir adalah keharusan untuk mengurangi perubahan iklim. Masalah penurunan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, adalah hal yang sedang dicari solusinya bersama-sama oleh seluruh penduduk dunia, tak terkecuali pejabat tinggi hingga masyarakat umum. Dalam artian, keduanya progresif dan bergerak bersama.
Namun untuk nutrisi kepada populasi yang terus bertambah, terutama nutrisi yang bergizi, menjadi fokus setiap yang peduli dengan kawasan pesisir. Mereka di antaranya pemerintah, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan pegiat lingkungan. Pada akhirnya, Suhana menyerukan agar wajib diwujudkannya keadilan sosial.
“Keadilan sosial adalah kunci tata kelola laut yang lestari. Selama ini seruan keadilan laut ini sudah banyak disuarakan, namun tidak jelas keadilan laut itu seperti apa. Kita perlu mendokumentasikan inisiatif penatalayanan lokal dan upaya perlawanan, yang terkait dengan laut dengan lebih baik. Serta memperkuat suara individu dan masyarakat yang mengambil tindakan, apalagi yang mempertaruhkan hidup mereka untuk melindungi lingkungan laut dan pesisir,” tegasnya.
Hal tersebut diungkapkannya dalam kesempatan pertemuan tahunan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia, awal bulan ini (September 2022) di Denpasar, Bali. Hadir pula di pertemuan tersebut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku perwakilan pemerintah. Koordinator Kelompok Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP, R. Moh. Ismail, sepakat dengan seruan Suhana tersebut, yakni menyuarakan lebih keras untuk keadilan sosial.
Menurut Ismail, kondisi riil masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia pada hakikatnya ialah memanfaatkan ruang laut sebagai penunjang ekonomi, tempat berusaha, dan juga tempat tinggal atau pemukiman. Namun tidaklah cukup bila pemahaman tentang kawasan pesisir sampai sebatas pada kondisi riil. Ismail kemudian membuka pandangan bahwa ada juga masyarakat adat yang hidup di kawasan pesisir, yang juga kerap menjadi pihak yang semakin terhimpit kondisi kehidupannya di tengah perkembangan jaman.
Masyarakat adat
Masyarakat hukum adat secara umum adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur. Namun secara spesifik bisa juga dibilang, mereka yang memiliki kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Masyarakat adat selama ini belum dilindungi secara optimal, dalam melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat individu maupun komunitas. Baik hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun-temurun, maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat. Mereka sering menjadi pihak yang tergusur atau terserobot oleh rencana-rencana pembangunan di suatu kawasan. Bagi Dari KKP sendiri, salah satu bentuk perlindungan masyarakat pesisir, melalui penguatan masyarakat hukum adat, lokal, dan tradisional.
“Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki potensi yang sangat besar, yang harusnya bisa dikelola secara berkelanjutan. Posisi dan nilai strategis wilayah laut Indonesia sangat strategis, merupakan modal dasar pembangunan nasional,” ujar Ismail. Sebagai negara kepulauan, lanjutnya, seharusnya masyarakat pesisir pulau kecil mendapatkan perlindungan dan bisa lebih sejahtera, dimana hal itu dijamin oleh undang-undang. Namun kenyataannya keterancaman wilayah pesisir dan pulau kecil semakin meningkat dari tahun ketahun.
Contoh yang jarang orang lihat tentang tergusurnya cara hidup masyarakat adat, adalah pada Suku Bajau. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa ketergantungan Suku Bajau adalah terhadap sumber daya laut. Ya, mereka mengonsumsi apa yang ada di dalam laut. Namun belakangan ini mereka berhadapan dengan eksploitasi laut yang tinggi. Eksploitasi laut yang tinggi belakangan ini, karena tingginya kemajuan teknologi penangkapan ikan, memaksa mereka hidup ke darat. Tidak lagi menyelam di laut. Bahkan sudah banyak yang menjadi tukang ojek motor di darat.
Ismail pun memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya perlu adanya komitmen nasional dalam meningkatkan kesejahteraan, peningkatan bantuan sarana dan prasarana, serta kebutuhan dasar bagi taraf hidup masyarakat hukum adat. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi pengetahuan peningkatan mutu hasil produksi perikanan dan kelautan. Dengan begitu, pengetahuan masyarakat pesisir bertambah namun tanpa harus tertindas oleh perkembangan jaman.
Photo credit: Pexels/ Quang Nguyen Vinh