Ratu Atut Chosiyah: korupsi alat kesehatan; Desi Aryani: korupsi proyek pembangunan jalan; Jaksa Pinangki Sirna Malasari: korupsi suap di kejaksaan; Mirawati Basri: korupsi impor bawang putih; Syahrul Raja Sempurnajaya: terpidana kasus pemerasan asosiasi pialang berjangka.
Hakim Setyabudi Tejocahyono: korupsi suap di pengadilan; Sugiharto: korupsi proyek eKTP; Andri Tristianto: korupsi suap di lingkungan Mahkamah Agung; Danis Hatmaji: korupsi proyek kredit fiktif di bank milik negara; Hakim Patrialis Akbar: korupsi impor daging sapi.
Edy Nasution: korupsi suap di lingkungan pengadilan; Irvan Rivano: korupsi dana bantuan pendidikan; Ojang Suhandi: korupsi suap dana jaminan sosial; Cepy Septhiady: korupsi dana bantuan pendidikan; Zumi Zola: korupsi suap anggaran belanja pemerintah.
Andi Taufan: korupsi proyek pembangunan; Arif Budiraharja: korupsi kredit fiktif di bank milik pemerintah; Supendi: korupsi dana bantuan keuangan; Suryadharma Ali: korupsi penyelenggaran haji; Chaeri Wardana: korupsi suap di pengadilan dan alat kesehatan; Anang Sugiana Sudihardjo: korupsi pengadaan eKTP; Amir Mirza: korupsi suap ke Wali Kota Tegal.
Belasan nama di atas adalah daftar koruptor yang mendapatkan pembebasan bersayarat dari pemerintah Indonesia di awal September. Mayoritas dari mereka adalah politisi yang pernah menjabat sebagai anggota dewan di daerah maupun pemerintah pusat. Politisi mantan Gubernur dan Wali Kota pun juga ada di daftar itu.
Pemberian pembebasan bersyarat kepada para koruptor langsung menjadi bahasan bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Termasuk di kalangan masyarakat miskin yang biasanya apatis karena sibuk memenuhi kebutuhan hidup mereka karena sering diabaikan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memastikan jika seluruh proses pemberian pembebasan bersyarat sudah legal secara hukum.
Menteri Hukum dan HAM Indonesia, Yasonna Laoly mengatakan jika keputusan itu sudah sesuai aturan undang-undang yang menyatakan jika terpidana yang telah menjalani dua pertiga masa tahanannya berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Hal itu pun juga telah dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Menurut Yasonna, negara tidak bisa melawan aturan-aturan tersebut.
Suharto, seorang pekerja kerah biru di kawasan industri di Sidoarjo, mengatakan kepada Maritime Fairtrade jika dirinya merasa tidak terima dengan keputusan pemerintah itu. Menurutnya, hal itu sangat tidak adil.
Ia mengatakan: “Itu kan kalau saya nggak salah mereka ditangkap juga di tahun 2018-an, masa 2022 sudah bisa dikasih bebas. Kok enak sekali hidup para koruptor itu. Pencuri ayam saja saya pernah baca ada yang dihukum penjara lebih lama. Lah ini malah pencuri hak-hak dari orang miskin seperti saya malah hukumannya ringan sekali. Padahal selama di dalam penjara juga saya yakin dapat perlakuan khusus juga itu.”
Sama seperti Suharto, Ada pula Muhammad Ridwan yang sangat marah dengan kebijakan pemerintah Indonesia itu. Ia adalah mahasiswa dari keluarga miskin yang beruntung karena mendapatkan beasiswa sehingga bisa berkuliah gratis.
Ridwan meyakini jika para politisi koruptor itu akan kembali maju dalam pemilihan umum di tahun 2024 nanti. Hal itu karena memang nama-nama koruptor di atas dipenuhi politisi papan atas yang menjadi tokoh besar di partai-partai politik di Indonesia.
Undang-undang pemilihan umum yang baru pun mengizinkan mantan terpidana koruptor untuk kembali mencalonkan diri. Syaratnya hanya sudah benar-benar bebas dari pidana yang mereka jalani dan harus secara terbuka menyatakan bahwa mereka adalah mantan terpidana kasus korupsi.
“Sekarang gini, kalau dengan aturan yang baru, mereka sangat bisa kembali mencalonkan diri di 2024 nanti. Kan itu di berita-berita sudah jelas bahwa mereka bebas murni di akhir tahun 2022 ini. Sudah jelas mereka akan maju lagi di pemilihan umum. Tidak tahu malu kan memang mereka itu,” kata Ridwan kesal.
Ia melanjutkan: “Padahal dari mereka yang bebas bersyarat itu, jelas-jelas yang dikorupsi adalah bantuan pendidikan, bantuan pembangunan, dan bantuan keuangan. Hal-hal yang sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin.
“Banyak teman-teman di desa saya yang sebenarnya ingin kuliah tapi tidak bisa karena tidak punya uang. Beasiswa yang seharusnya ada untuk mereka, dananya dikorupsi oleh politisi-politisi busuk itu. Sekarang, mereka diberi keistimewaan. Mereka diberi pembebasan bersyarat dan siap kembali ke panggung politik lagi. Menjijikkan!”
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Maradona, juga turut menyuarakan pendapatnya terkait hal ini. Kepada Maritime Fairtrade, ia menilai jika hal itu adalah masalah besar bagi dunia peradilan di Indonesia. Menurut catatannya, pembebasan bersyarat bagi koruptor sering terjadi. Hanya saja, di beberapa kejadian sebelumnya, jumlah narapidana koruptor yang mendapatkannya tidak sebanyak saat ini.
“Pengajuan pembebasan bersyarat itu pasti akan disidangkan oleh para hakim di Mahkamah Agung. Saya harap hakim-hakim itu seharusnya bisa bekerja dengan objektif, netral, dan adil. Masalah pembebasan bersyarat untuk koruptor bukan hanya harus dilihat dari kepatutan asas legalnya saja. Harus dinilai masalah etika hukumnya juga. Kalau hakim sudah tercemar suap dan korupsi, masyarakat harus kemana lagi untuk mencari keadilan?” jelas Maradona.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, menurutnya, juga harus terus melaksanakan reformasi birokrasi. Hal itu agar putusan-putusan yang dihasilkan tidak melukai masyarakat, terutama masyarakat miskin. Khususnya terkait putusan-putusan terkait para koruptor yang seringnya mencuri anggaran negara yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan masyarakat miskin.
“Memang Mahkamah Agung sudah melakukan reformasi. Tapi langkah mereka belum cukup. Buktinya adalah masih sering terjadi penangkapan hakim-hakim di berbagai jenjang pengadilan akibat melakukan korupsi atau menerima suap,” pungkas Maradona.
Top photo credit: iStock/ gorodenkoff
All other photos credit: Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK)