Sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan upaya luar biasa untuk memantau wilayah lautnya. Salah satu yang paling penting adalah menjaga perairan itu bebas sampah. Setidaknya sekitar 80 persen sampah di laut adalah sampah-sampah dari daratan. Walau berbagai upaya sudah coba dilakukan oleh banyak pihak, namun produksi sampah plastik masih terus berjalan tanpa bisa dihentikan.
Bukan hanya di Indonesia saja, persoalan sampah plastik di laut juga sedang menjadi persoalan yang krusial di dunia. Untuk mengatasinya, diperlukan kerja sama yang erat dan kompak antar negara, antar instansi, dan antar pihak di seluruh dunia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berharap, penanganan sampah plastik di laut tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia saja. Namun juga, masyarakat dan para pemangku kepentingan lain.
“Mereka diharapkan bisa lebih peduli dan berperan aktif dalam mengatasi permasalahan persampahan di Indonesia,” ungkapnya.
Pelibatan banyak pihak dalam upaya penanganan sampah plastik di laut, diakuinya sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Selama proses tersebut, produksi sampah plastik di laut sudah berhasil dikurangi hingga mencapai 28,5 persen.
Tetapi, persentase tersebut dinilai masih belum cukup banyak jika merujuk pada target pengurangan produksi sampah plastik di laut pada 2025 mendatang atau tersisa tiga tahun lagi. Pada tahun tersebut, produksi sampah plastik di laut diharapkan sudah berkurang hingga 70 persen.
Angka 70 persen pun menurutnya masih jauh dari cukup jika rujukannya adalah 2040, yaitu tahun penetapan target bebas sampah plastik di lautan yang ditetapkan Pemerintah. Target tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.
“Upaya sinergis kita melalui berbagai kebijakan, program, dan aksi-aksi di lapangan,” katanya.
Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah melaksanakan intensifikasi pengelolaan sampah dengan terintegrasi dari hulu ke hilir. Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi yang fokus pada pengurangan produksi sampah plastik di laut.
Kegiatan tersebut saat ini sudah berjalan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Pusat pembuangan akhir sampah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu sudah berhasil mengubah sampah menjadi energi terbarukan.
TPST karya anak bangsa itu diketahui sudah mampu melaksanakan pengolahan sampah setiap hari sebanyak 100 ton menjadi energi listrik. Serta, mengolah sampah sebanyak 2.000 ton menjadi bahan bakar refuse derived fuel (RDF).
Menurut Luhut, bahan bakar dari RDF sudah bisa digunakan untuk kegiatan produksi di pabrik semen. Dia bermimpi, pada kuartal kedua 2024 nanti produksi RDF bisa lebih banyak melalui pengolahan 12 ribu ton sampah setiap hari.
“Itu menjadikan Indonesia bersih (dari sampah),” ucap dia.
Selain melakukan upaya teknis yang bersifat taktis, penanganan sampah plastik di laut juga dilakukan Pemerintah Indonesia dengan melaksanakan mitigasi kebocoran sampah yang berasal dari daratan. Upaya tersebut seharusnya bisa didukung dan mendapat perhatian paling besar dari semua pihak.
“Upaya pengelolaan sampah yang lebih baik dan kolaboratif akan mewujudkan ekosistem laut yang lebih bersih dan sehat. Terlebih, karena wilayah Indonesia itu 75 persen adalah lautan,” tegasnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) 83/2018, sampah laut atau marine debris adalah sampah yang berasal dari daratan, badan air, dan pesisir yang mengalir ke laut atau sampah yang berasal dari kegiatan di laut.
Kehadiran sampah laut bisa dilihat di semua habitat laut, dari kawasan padat penduduk hingga lokasi terpencil yang tidak terjamah manusia, dari pesisir dan kawasan air dangkal hingga palung-palung laut dalam.
KKP menyebut bahwa kepadatan sampah laut memiliki perbedaan dari satu lokasi ke lokasi lain, karena dipengaruhi oleh kegiatan manusia, kondisi perairan atau cuaca, struktur dan perilaku permukaan bumi, titik masuk, dan karakteristik fisik dari materi sampah.
Di sisi lain, sampah plastik selalu menjadi komponen terbesar dari sampah laut. Biasanya, sampah plastik adalah sampah yang mengandung senyawa polimer. Jenis dari sampah plastik mencakup polimer sintetis, termasuk jaring ikan, tali, pelampung dan perlengkapan penangkapan ikan lain.
Selain jenis di atas, jenis sampah plastik juga bisa ditemukan pada barang-barang konsumen keseharian, butir resin plastik, partikel plastik mikro, logam, gelas, kertas dan kardus, karet, pakaian dan tekstil.
Pada 2015, Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan melakukan penelitian tentang mikroplastik. Hasilnya, sebanyak 28 persen dari 76 ikan yang berasal dari 11 spesies diketahui memakan mikroplastik dengan ukuran bervariasi dari 0,1-1,6 mm di Tempat Pemasaran Ikan (TPI) Putere, Makassar. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran plastik sudah sangat tinggi di laut Indonesia.
Jika sampah laut terus dibiarkan tanpa ada penanganan yang serius, maka itu akan berdampak negatif pada banyak aspek. Tak hanya mengganggu kegiatan ekonomi dan pariwisata yang ada di laut dan pesisir, sampah laut juga bisa mengganggu kehidupan biota laut dan kesehatan manusia.
Dampak lainnya, akan terjadi proses pelapukan menjadi mikro dan nanoplastik yang akan merusak ekosistem pesisir dan dimakan oleh plankton atau ikan. Maka dari itu, sampah laut harus dikendalikan melalui pengelolaan yang tepat.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun tak mau diam untuk ikut berkontribusi melakukan riset dalam upaya penanganan sampah di laut. Kegiatan tersebut mendapat dukungan pembiayaan dari kelompok negara yang tergabung dalam Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
Kegiatan riset tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat untuk penanganan secara komprehensif dari sejak hulu hingga ke hilir yang dilakukan oleh KKP, instansi lain, ataupun masyarakat secara umum.
Ada tiga program akan dilaksanakan BRIN, yaitu “Determining Microplastics Distribution in Coastal Aquaculture Input System and Developing its Mitigation Plan towards Seafood Safety”; Capacity Building on Vessel Innovation to Combat Marine Debris”; dan “Workshop on Promoting Bioplastic Materials to Reduce Marine Plastic Litter in the Asia Pacific Region.”
Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP I Nyoman Radiarta mengatakan kalau timbulan sampah yang ada di Indonesia bisa mencapai jumlah 25,6 juta ton setiap tahun.
Angka tersebut berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) per 16 Juni 2022 dari 207 kabupaten dan kota pada tahun 2021. Dari sistem tersebut diketahui kalau komposisi sampah tertinggi, sebesar 29,5 persen berasal dari sisa makanan dan kedua adalah plastik dengan 15,4 persen.
“Kita tahu bahwa sebanyak 80 persen sampah laut berasal dari kegiatan di daratan yang bocor melalui sungai dan mencemari laut,” ucapnya.
Dia memastikan, komitmen Indonesia untuk mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut terus dikuatkan sampai target 70 persen pengurangan bisa tercapai pada 2025 mendatang. Bahkan, jika bisa pada 2040 kebocoran sampah plastik ke laut sudah mendekati nol.
Upaya tersebut sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Sampah Laut (RAN PSL) 2018-2025 yang sudah berjalan saat ini. Selain itu, melalui keterlibatan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), KKP ikut berperan dalam kelompok kerja (Pokja) tentang Penanganan Sampah Laut dan Pesisir.
Dalam Pokja TKN PSL, KKP bertugas untuk mengelola sampah di pesisir dan laut, seperti pengelolaan sampah plastik yang berasal dari kegiatan transportasi laut, wisata bahari, kegiatan kelautan dan perikanan, serta luar pulau dan pulau-pulau kecil.