Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota saat ini sedang dalam tahapan uji coba. Kebijakan tersebut memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun.
Uji coba perizinan khusus dilaksanakan pada tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara dan PPN Kejawanan di Jawa Barat. Dari kebijakan tersebut, Pemerintah menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp 1 triliun dari tahun 2021.
Padahal dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menunjukkan fakta bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sebagian besar WPPNRI telah menunjukkan status eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited). Kepmen KP itu semestinya menjadi patokan dalam penyusunan kebijakan perikanan tangkap agar lebih berkelanjutan.
Sekretaris Koalisi NGO untuk perikanan dan keluatan berkelanjutan (Koral), Mida Saragih, mengungkapkan kelompok sumber daya ikan pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) sudah mengalami fully exploited dan over exploited. Tidak ada lagi yang berstatus moderate.
“Dengan kondisi WPP di Indonesia sebagian besar mengalami perikanan tangkap berlebih, maka diperlukan kebijakan keberlanjutan yang kuat atau strong sustainability,” tegas Mida Saragih.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam merumuskan kebijakan perikanan tangkap harus betul-betul memperhatikan dan melaksanakan mandat konstitusi negara. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan tiga prinsip penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional tidak terkecuali di bidang perikanan. Pertama, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Kedua, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional; dan ketiga, penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus memperhatikan prinsip berkelanjutan dan wawasan lingkungan. Berlandaskan pada konstitusi RI, Pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan pada keberlanjutan sektor perikanan tangkap, sekaligus keberpihakan kepada nelayan skala kecil,” lanjut Mida.
Sumber daya perikanan masuk ke dalam kategori sumber daya berkarakter milik bersama (common pool resources). Dalam konteks ini, pemanfaat yang memiliki motivasi hanya untuk mendapatkan manfaat akan terus melakukan eksploitasi dan memicu pada eksploitasi sumber daya perikanan tangkap secara berlebihan. Dan selanjutnya akan memacu konflik dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada. Kita membutuhkan kepemimpinan dan pengawasan negara dalam mengendalikan pemanfaatan dan permintaan ikan.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota jangan sampai mengulang kegagalan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya ikan dengan memberikan akses khusus bagi pemodal di zona tertentu. KORAL mengkhawatirkan dampak lanjutan terjadinya eksploitasi penuh di seluruh WPP di Indonesia, terlebih saat ini pengawasan perikanan tangkap di Indonesia masih lemah dan perlu diperkuat sebagai prasyarat utama untuk berjalannya kegiatan perikanan tangkap di Indonesia.
Dalam menjalankan kebijakan perikanan tangkap, KKP menjalankan fungsi pengawasan dan monitoring secara reguler terhadap jumlah pemanfaatan ikan dan keuntungan melalui sebaran perizinan penangkapan ikan dan kondisi sumber daya perikanan agar pemanfaatan ikan dapat terkendali baik secara biologi dan ekonomi. Ada atau tidak adanya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), fungsi pengawasan dan monitoring ini harus diselenggarakan oleh KKP. Selanjutnya perlu mendorong menjalankan langkah nyata untuk WPP dengan tingkat pemanfaatan ikan over exploited, KKP sudah saatnya mendorong kebijakan moratorium, mengurangi trip penangkapan dan melarang alat tangkap merusak.
Maladaptasi Krisis Iklim Kebijakan PIT
Kebijakan PIT berbasis kuota yang digulirkan oleh KKP akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini dialami oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional di Indonesia. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, KKP sedang mendorong maladaptasi krisis iklim. Maladaptasi adalah tindakan atau adaptasi yang gagal mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya.
“Dalam konteks ini, maladaptasi adalah berupa kebijakan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko (dampak buruk) terkait (dengan krisis) iklim yang merugikan, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap krisis iklim, atau menyebabkan penurunan kesejahteraan (well-being), baik sekarang atau pada masa yang akan datang,” ungkap Parid.
“Kebijakan PIT berbasis kuota akan memperburuk kehidupan nelayan. Setidaknya, 237.280 orang nelayan di Provinsi Maluku (WPP 714, 715 dan 718), misalnya, dipaksa harus bersaing dengan kapal-kapal besar di wilayah tangkap mereka. Inilah bentuk maladaptasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,” tambahnya.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan, semua pihak harus sadar bahwa saat ini kondisi laut Indonesia sedang “sakit” dan perlu langkah nyata untuk memulihkannya. Salah satunya dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang justru memperparah keadaan.
“Laut Indonesia perlu kita istirahatkan. Harusnya kebijakan pemerintah mengarah pada pemulihan bukan malah meningkatkan kuota tangkapan,” kata Afdillah.
Anggota DPR RI Mercy Chriesty Barends meminta menghentikan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan sistem tangkap ikan yang terukur berbasis kuota dan zonasi.
Menurut Mercy, tidak tepat kebijakan pemerintah itu diberlakukan sebagai upaya untuk mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor perikanan. Bagi Mercy Chriesty Barends, kebijakan tidak melindungi nelayan kecil.
Mercy mengungkapkan, dirinya kerap didatangi para nelayan menyampaikan aspirasi termasuk sekelompok asosiasi nelayan yang terus mengeluh. Mereka, para nelayan ini mengaku sangat merugi karena harus berhadapan kapal-kapal berukuran besar atas 30 GT atau gross ton.
“Tentu, kebijakan ini sangat merugikan nelayan kecil, masa mereka dipaksa berhadapan dengan kapal besar, ini tidak adil. Kebijakan ini juga sangat dikhawatirkan bakal banyak kapal berukuran besar penangkap ikan dan mematikan mata pencarian para nelayan kecil, yang kapal tradisonal,” terang Mercy.
All photos credit: Iqbal Ramdhani