Memperkuat Posisi Tawar Lewat Ketahanan Pangan

Gelaran Presidensi G20 Indonesia dengan tema “Digital, Blue and Green Economy” akan diramaikan dengan kegiatan yang bertujuan mendukung penelitian dan inovasi di antara negara anggota G20. Dari sisi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga ikut mendukung tema tersebut, salah satu fokusnya adalah bagaimana teknologi antariksa bisa berkontribusi kepada ketahanan pangan dan energi. “Misalnya dengan memanfaatkan remote sensing atau penginderaan jarak jauh, pemanfaatan citra satelit, dan lainnya,” ujar Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko di kantornya, Jakarta (10/26/2022).

Mengapa soal ketahanan pangan menjadi salah satu fokus utama di forum G20 dan bahkan di luar forum tersebut, atau dengan kata lain mengapa ketahanan pangan adalah isu sangat penting di masa depan? Untuk menjawab hal tersebut, perlu pula sekilas menilik sejarah di masa-masa silam. Dulu, di era penaklukan wilayah-wilayah di rentang abad pertengahan lalu, negara atau kelompok yang memiliki ketahanan ideologi dan strategi tempur yang kuat, merekalah yang akan bertahan. Ketika berhasil menjadi penakluk, mereka yang akan menguasai peradaban saat itu. 

Bergeser ke masa Perang Dunia I dan II yang terkenal dengan masa-masa aliansi, mereka yang unggul adalah negara atau kelompok yang (selain memiliki ideologi dan strategi tempur yang hebat) juga mempunyai kekuatan pertahanan. Baik kekuatan pertahanan senjatanya maupun pasukan tempurnya. Setelah masa-masa penaklukan dan peperangan berakhir atau di era modern seperti saat ini, negara yang selanjutnya muncul menjadi adidaya adalah mereka memiliki tiga hal ini sekaligus: ideologi dan strategi yang kokoh, pertahanan militer yang kuat, serta penguasaan teknologi dan informasi. 

Kemudian bagaimana dengan 50 tahun ke depan dari sekarang? The United Nations memprediksi, bukan lagi negara yang kokoh dalam berstrategi serta pertahanan militer, dan juga bukan yang memiliki teknologi informasi yang kuat saja yang akan bertahan dengan kondisi masa depan. Tapi negara yang memiliki ketahanan pangan yang stabil dan berkelanjutan yang akan adidaya di dunia. Karena itulah banyak forum dunia menyadari betul bahwa ketahanan pangan adalah hal yang sangat strategis di masa depan. Dan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi tinggi dalam ketahanan pangan di dunia.

Memperkuat Posisi Tawar Lewat Ketahanan Pangan
Sawah. Photo credit: Angiola Harry

Bargain power

Maka dengan menyuguhkan teknologi yang memperkuat ketahanan pangan, BRIN yakin Indonesia akan menjadi ‘collaboration hub’, sehingga pada akhirnya BRIN akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan di masa depan. Namun Indonesia akan terlebih dulu menciptakan bargain position dalam hal inovasi teknologi. “Kita punya kekuatan sumber daya alam yang bagus untuk ketahanan pangan. Tapi dengan hanya itu saja, tidak akan cukup menjadi modal bargain power kita. Karena Indonesia juga memerlukan infrastruktur bagi para peneliti,” ungkap Laksana. 

Lebih konkrit, Laksana menjelaskan bahwa saat ini pihak BRIN telah menyiapkan beberapa skema kolaborasi yang berdasarkan pada bargain position tersebut. Salah satunya adalah skema saling membiayai. “BRIN akan membiayai riset yang mereka lakukan di Indonesia. Dan sebaliknya, kita dengan posisi tawar yang bagus kepada negara-negara itu, akan diminta melakukan penelitian di negara mereka, untuk negara mereka, dan dibiayai oleh mereka,” ungkap Laksana. Tapi kembali lagi, syaratnya adalah memiliki kekuatan posisi tawar atau bargain power dalam konteks kolaborasi.

Kemudian mengapa bargain position penting bagi Indonesia dalam hal kolaborasi inovasi teknologi bersama anggota negara G20 di masa depan? Laksana melanjutkan, posisi Indonesia saat ini lebih dipandang sebagai kelompok peneliti dari negara berkembang. Sementara di G20 banyak negara-negara yang telah memiliki kekuatan tersendiri dalam hal riset dan inovasi, seperti keunggulan fasilitas, teknologi informasi, dan infrastruktur, terutama di negara-negara maju. “Namun bila Indonesia punya bargain power, kita bisa melangkah dengan posisi yang sejajar.”

Lebih jauh, Pelaksana Tugas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Agus Haryono, menjelaskan tentang sumberdaya alam yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan. Sumber daya tersebut ialah biodiversitas. “Riset dan inovasi Indonesia bersama negara G20 adalah memanfaatkan biodiversitas untuk pangan, energi, kesehatan, dan antisipasi dampak perubahan iklim. Dan kegiatan G20 ini akan berlanjut ke India dan Brazil. Dapat kita lihat bahwa rangkaian G20 ini menyisir negara-negara yang memiliki biodiversitas tinggi di dunia,” ungkap Agus Haryono.

Lalu bagaimana dengan teknis pelaksanaan riset dan inovasi yang akan memanfaatkan biodiversitas tersebut? Agus Haryono menjelaskan bahwa pada Jumat, 28 Oktober 2022 nanti, BRIN akan mengadakan “G20 Research and Innovation Ministers Meeting (G20 RIMM)” yang digelar di Jakarta. “Di sana akan kita bahas tentang bagaimana mekanisme pemanfaatan biodiversitas tersebut, termasuk soal pendanaannya, penggunaan fasilitasnya, serta bagaimana kolaborasinya (antara negara G20). Dan kita akan melakukan deklarasi bersama negara G20 di tingkatan menteri,” ungkap Agus.

Top photo credit: Pexels/ Mike Marchetti

The best maritime news and insights delivered to you.

subscribe maritime fairtrade

Here's what you can expect from us:

  • Event offers and discounts
  • News & key insights of the maritime industry
  • Expert analysis and opinions on corruption and more