Ribuan pemulung menggantungkan hidupnya di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi. Saban hari, sejak pagi buta hingga mega memerah, mereka berjibaku dengan bau sampah lengkap dengan lalat yang berterbangan di atasnya.
Tempat pembuangan sampah terbesar di dunia dengan luas mencapai 100 lapangan sepakbola tersebut, dapat menampung sekitar 39 juta ton lebih sampah. Di atas tumpukan sampah tersebut, pada Kamis (15/9/2022) para pemulung mengais barang bekas dan memilahnya satu per satu.
Tempat pembuangan sampah terpadu di Bantar Gebang menjadi surga bagi mereka yang menggantungkan nasib di sini, terhitung oleh data sejak tahun 2019 sampai kini pemulung diperkirakan sudah mencapai 500 lebih untuk mencari barang bekas di lokasi ini.
Banyak sekali orang yang mengais sampah disini lalu dijual, sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan itu dan diberikan kepada pengepul sampah untuk di daur ulang kembali. Bahkan sejak pagi dini hari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, telah ramai. Sejumlah alat berat sudah terlihat dioperasikan untuk mengatur sampah – sampah yang datang dikirim dari berbagai lokasi.
Berbekal sarung plastik yang sudah dimodifikasi untuk dapat menampung sampah yang lebih banyak dan besi lurus yang diberi paku agar dapat mengambil sampah plastik atau botol, para pemulung berjuang di antara tumpukan sampah. Tak lupa perlengkapan lainnya seperti sepatu baju panjang untuk melindungi kaki dan tangan.
Salah seorang pemulung di TPST Bantar Gebang, Watim (77 tahun) sudah 30 tahun menjadi pemulung di Bantar Gebang. Penghasilan Watim dari mencari barang bekas mencapai Rp100 ribu per hari. Namun, sejak pandemi Covid-19 penghasilannya menurun 30 persen.
“Kalau normal, untuk orang yang sudah tua kaya saya sehari Rp100.000, dari jam 07.00 WIB sampai 16.00. Sekarang akibat pandemi dapat Rp70.000 saja sudah sudah alhamdulillah. Sekarang per kilogram sampah plastik cuma dihargai Rp1000,” ungkap Watim di atas gunungan sampah.
Dengan pendapatan tersebut, Watim menafkahi istri dan keempat orang anaknya. Meski dengan resiko kecelakaan dan kesehatan yang tinggi, Watim tetap melakoni pekerjaannya sebagai pemulung. “Kalau tidak mulung, mau kerja apa lagi sudah tua begini?” jelas Watim.
Selama 24 jam puluhan hingga ratusan pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Mayoritas pemulung yang mencari barang bekas di TPST Bantar Gebang, Bekasi adalah mereka yang sudah berusia senja. Setiap hari, mereka harus mengeruk tumpukan sampah dan mencari barang bekas yang bisa dijual kembali, seperti kardus, besi, dan plastik.
Aroma yang tak sedap menusuk hidung dari setiap penjuru Bantar Gebang yang merupakan tempat pengolahan sampah terbesar di indonesia tersebut. Setiap harinya mungkin diperkirakan sekitar ribuan ton sampah dibuang di wilayah tersebut.
“Nyari rejeki demi menyambung hidup kami ya di sini, biar anak istri bisa makan. Di sini saya dapat menyampung hidup, karena setiap harinya ribuan mobil pengangkut sampah membawa ke TPST ini, jika dihitung ribuan ton sampah yang dibuang ke sini,“ ujar Watim.
Tak hanya Watim, Edi juga menceritakan bagaimana perjuangannya mencari nafkah di TPST Bantar Gebang, Bekasi. Setiap harinya Edi memulung dari pukul 06.00 pagi sampai 05.00 sore, yang bahkan bisa lebih dari jam tersebut.
“Saat mobil sampah datang, kami siap-siap berebutan nyari sampah yang bisa dijual,” lanjut Edi. Selain itu dengan penghasilan yang kecil, sulit rasanya bagi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya. Hal ini membuat banyak anak-anak pemulung yang akhirnya putus sekolah.
Di pesisir tempat pembuangan ini tidak jauh sekitar 200 hingga 300 meter banyak perkampungan penduduk warga yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung. Disanalah pemulung itu bertahan hidup dan mengais nafkah dari sampah buangan penduduk.
Mereka rata rata tinggal di gubuk kayu dan rumah yang tak layak untuk dihuni lagi, genteng sudah banyak yang bocor, dinding yang terbuat dari triplek sudah lapuk dan keramik yang sudah banyak hancur, bahkan ada beberapa rumah yang tidak menggunakan keramik.
“Jadi ketika hujan tak hanya mengalami bocor saja tapi pemukiman warga akan mengalami banjir dan merasakan kedinginan pada malam hari,” ujar Edi.
Bau busuk yang mereka cium sepanjang hari sudah biasa mereka hirup, pencemaran air dan gas metana yang dihasilkan menjadi hal yang tidak asing lagi bagi warga sekitar tempat pembuangan sampah tersebut.
“Pencemaran dari sampah Bantar Gebang sudah dirasakan warga setempat, salah satunya air sumur baunya yang sudah tidak enak, sehingga air di sini hanya bisa digunakan untuk mandi dan mencuci saja, kalau untuk minum kita setiap hari membeli air galon,” kata Edi.
Bahkan, aktor kawakan Holywood, Leonardo Dicaprio sempat menyoroti kondisi sampah di TPST Bantar Gebang milik Pemprov DKI Jakarta di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi pada 2019 lalu.