Siang itu, ketika ditemui Maritime Fairtrade, Nurahmi dan suaminya sedang sibuk menata lapak ikan hasil tangkapan di malam hari sebelumnya. Hari itu, jam buka lapak ikan miliknya di Kampung Nelayan Sidoarjo sedikit lebih siang dari biasanya. Hal itu dikarenakan ia dan suaminya harus terlebih dahulu mengambil bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada para nelayan usai harga BBM naik.
Setelah menaikkan harga BBM, pemerintah Indonesia memang mulai mencairkan bantuan-bantuan kepada kelompok yang terdampak paling keras. Kelompok itu misalnya adalah para nelayan. Bantuan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bantuan disalurkan melalui beberapa jalur. Termasuk diantaranya melalui pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian.
Nurahmi bercerita, terhitung hingga tanggal 21 September, dirinya sudah menerima beberapa jenis bantuan. Diantaranya adalah bantuan uang tunai, sembako, dan BBM untuk keperluan suaminya melaut. Bantuan itu mulai ia terima sejak tanggal 15 September lalu.
Ia mengatakan: “Saya total terima kalau uang tunai itu sampai saat ini sekitar IDR 1 juta. Itu dari Kementerian Sosial sama Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Kalau yang sembako, jujur saya nggak tahu berapa totalnya kalau dalam rupiah. Yang jelas, ada dua paket sembako. Satu dari kepolisian dan satu dari TNI. Kalau bantuan BBM, sejak saat ini baru terima 10 liter solar dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.”
Bantuan-bantuan yang diberikan itu, menurut Nurahmi, masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dalam jangka panjang. Khususnya terkait bantuan BBM, ia berharap ada lebih banyak bantuan BBM yang diberikan kepadanya. “Karena kalau BBM itu kebutuhan utama untuk suami saya melaut. Setiap hari butuh sekitar 30 liter. Sampai saat ini baru terima 10 liter bantuan. BBM untuk melaut juga masih susah dicari, untuk membeli suami saya masih perlu menempuh jarak sekitar 10 kilometer dengan sepeda motor,” katanya.
Nurahmi menambahkan: “Kalau untuk bantuan uang tunai dan sembako, memang kalau untuk sekarang jumlahnya bisa dibilang cukup. Tetapi, untuk jangka panjang ini bagaimana? Karena harga BBM naik dan susah dicari, kadang suami saya harus membatasi perjalanan melaut. Hitungan kami, saat ini ada tambahan biaya IDR 50 ribu untuk melaut. Jelas ketika bantuan-bantuan yang kami terima sudah habis, beban kenaikan harga akan terasa berat sekali untuk saya.”
Senada dengan Nurahmi, Makhrus yang juga nelayan di wilayah yang sama memiliki pendapat yang sama. Makhrus mengaku bersyukur dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Namun, untuk jangka panjang, hidupnya akan terasa jauh lebih berat dari sebelum harga BBM naik.
Ia mengatakan: “Saat ini, kami memang bisa bertahan hidup dan memiliki modal melaut dari bantuan-bantuan yang datang. Tapi bantuan-bantuan itu tidak akan terus menerus datang. Ketika sudah tidak ada lagi bantuan dampak kenaikan harga BBM, kami akan merasakan kehidupan yang sangat berat. Tidak mungkin menaikkan harga jual kami kepada para tengkulak. Kami juga tidak bisa menaikkan harga ikan yang kami jual eceran terlalu tinggi karena nanti tidak ada yang beli.”
Terkait bantuan yang diberikan dampak kenaikan harga BBM, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dalam keterangan resminya mengaku telah siap meluncurkan IDR 257 milliar. Nominal itu akan disalurkan kepada kelompok-kelompok masyarakat miskin seperti nelayan. Pemerintah pusat pun telah menganggarkan dan meluncurkan puluhan triliun rupiah untuk hal yang sama. Pun demikian, kepolisian dan TNI ikut turun memberikan bantuan berbentuk sembako.
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnus Universitas Airlangga Surabaya, Wisnu Wibowo, menyebut bantuan-bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi masyarakat. Ia setuju dengan pernyataan para nelayan kepada Maritime Fairtrade itu.
Wisnu mengatakan: “Bantuan pemerintah itu tidak akan cukup menyembuhkan penderitaan masyarakat. Itu hanya akan menurunkan intensitas saja, dan tidak akan bertahan dalam waktu lama. Kebijakan bantuan pemerintah ini hanya untuk kepentingan pendekatan psikologis saja, agar masyarakat nggak terlalu kaget. Sesaat setelah harga BBM dinaikkan, masyarakat dibuat senang dulu agar kekecewaan yang muncul tidak terlalu besar.”
Lebih lanjut, menurutnya, sebaiknya pemerintah segera membuat skema atau rencana agar pemberian subsidi BBM yang hingga saat ini masih berjalan menjadi lebih tepat sasaran. BBM bersubisidi masih sangat mudah dibeli oleh para pemilik mobil-mobil mewah di berbagai stasiun pengisian BBM di Indonesia.
“Dari segi keekonomian, akan lebih mudah ketika pemerintah mengawasi secara ketat penyaluran BBM bersubsidi. Hingga saat ini mobil-mobil mewah masih mudah sekali membeli BBM bersubsidi. Hal itu harusnya yang diregulasi secara ketat. Jika itu sudah terlalui dan bisa dilakukan secara sempurna, maka beban keuangan negara untuk BBM bersubsidi ini tidak akan lagi berat. Selisihnya pun akan bisa dialokasikan untuk program-program tepat guna dan berkelanjutan bagi masyarakat-masyarakat miskin,” tegas Wisnu.
Top photo credit: iStock/ EoNaYa