Kemungkinan besar akan banyak yang terheran-heran, ketika seseorang mengatakan, “Saya gemar makan mahluk Decapoda, karena rasa dagingnya enak.” Tapi akan beda lagi ceritanya, kalau si orang tersebut bilangnya begini, “Saya gemar makan kepiting dan udang, karena rasa dagingnya enak.” Ya, Decapoda sebenarnya adalah nama ilmiah yang mewakili kepiting, udang, lobster, dan hewan laut yang tubuhnya berbuku lainnya. Posisi Decapoda berada pada tangga nama ilmiah di urutan ordo. Di atasnya, Decapoda masuk ke dalam super ordo Eucarida. Lalu ke atas lagi, tergolong kelas Malacostraca.
Dari golongan hewan kelas Malacostraca, naik lagi ke atas, akan terlihat bahwa Decapoda termasuk subfilum Crystacea. Dan terus ke atas lagi, hingga masuk ke dalam komunitas besar hewan Animalia (kingdom), bersama dengan ikan, burung, kucing, kuda, harimau, bahkan manusia. Begitulah cara ilmuwan menggolongkan mahluk hidup di muka bumi ini, yaitu salah satunya dengan klasifikasi ilmiah. Adapun Decapoda, hidup di perairan dengan banyak jenis dan berbagai ukuran.
Ada yang bisa dimakan sebagai hidangan lezat, seperti kepiting, udang, dan lobster, ada juga yang tidak layak menjadi hidangan bagi manusia. Ada yang ukurannya besar, tampak kasat mata, ada juga yang ukurannya kecil dan bahkan harus dibantu dengan alat tertentu untuk mendeteksi keberadaannya. Lalu bagaimana nasib mereka di muka bumi ini, bila cara mendeteksinya harus dilakukan dengan metode yang cukup spesifik? Karena umumnya, Decapoda memiliki kekuatan tubuh yang terbatas dalam menerima kondisi perairan. Artinya, perairan yang buruk bisa berbahaya bagi hidup mereka.
“Nah itulah. Di Indonesia ini, studi genetika untuk mendapatkan rangkaian DNA hewan ini, yang nantinya akan digunakan untuk mendeteksi karakter dan jenis spesiesnya, belum banyak dilakukan,” ungkap Dr. Beginer Subhan, peneliti, pengajar, dan juga Sekretaris Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB University kepada Maritime Fairtrade, Rabu (09/21/2022). Dan studi tersebut, lanjut Beginer, penting dilakukan karena terkait kebijakan pemerintah dalam hal pemanfaatan sumber daya perikanan.
“Kami, pada peneliti IPB University telah melakukan penelitian terkait deteksi Decapoda Crustacea ini. Tujuannya tak lain untuk menjaga kelestariannya, serta untuk berkontribusi pada konservasi biodiversitas di laut,” imbuh Beginer. Namun berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tim peneliti kelautan tersebut menggunakan teknologi metabarcode eDNA. Sekilas mengenai eDNA atau environmental DNA, Beginer menjelaskan, para intinya metode eDNA bertujuan untuk mengetahui lebih banyak tentang pola penyebaran spesies dari Decapoda.
Seperti dijelaskan di awal artikel ini, Decapoda memiliki tangga nama ilmiah di atasnya, dan juga ke bawahnya. Dia berada pada golongan ordo. Kemudian di bawah ordo, ada tangga yang paling bawah yaitu spesies. Misalnya pada udang, jenis udang galah, adalah Decapoda dengan spesies Macrobrachium rosenbergii, lalu jenis udang kali adalah spesies Macrobrachium lanchesteri, dan udang-udang lainnya. Maka dengan metode eDNA, para peneliti tersebut akan mengetahui bagaimana penyebaran spesies Decapoda di Indonesia.
Seperti diketahui, aktifitas penangkapan ikan di laut Indonesia (juga di laut internasional), saat ini sudah mulai diatur oleh regulasi. Di Indonesia, sudah mulai diterapkan peraturan pemerintah tentang penangkapan ikan terukur, atau yang sebelumnya disebut sebagai kegiatan perikanan berbasis kuota. Bila regulasi tersebut tidak diterapkan mulai dari sekarang, bukan mustahil ke depannya akan banyak spesies di laut yang musnah akibat menjadi korban eksploitasi manusia yang ugal-ugalan. Belum lagi yang spesies laut yang menjadi korban salah tangkap atau by catch.
“Kami berharap penelitian ini bisa menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan atau regulasi, khususnya untuk memperhatikan kelestarian Decapoda Crustacea ini,” jelas Beginer, yang juga sebagai koordinator penelitian. Saat ini, berasarkan kondisi yang ada, masih terjadi gap database. Sehingga kebijakan dalam hal pelestarian Crustacea dan Decapoda di setiap provinsi, berbeda-beda. Perlu diketahui, pemerintah dalam mengambil kebijakan pelestarian lingkungan, salah satu pertimbangannya adalah masukan-masukan dari hasil penelitian para akademisi.
Padahal lembaga internasional IUCN (International Union for Conservation of Nature) telah membuat daftar merah bagi Decapoda spesies tertentu. Spesies tersebut yaitu Charybdis anisodon, Charybdis japonica, Macrobrachium nipponense, Mierspenaeopsis hardwickii, Panulirus stimpsoni , Portunus pelagicus, dan Trachysalambria aspera. Namun di Indonesia, belum ada laporan evaluasi keberadaan spesies tersebut. Yang dikuatirkan adalah spesies yang dilindungi IUCN tersebut ternyata sudah langka atau bahkan punah di Indonesia.
“Maka kami mengajak semua peneliti kelautan untuk melakukan pemantauan seperti ini. Khususnya perlu banyak melakukan pengujian DNA, supaya tampak gambaran kesenjangan data kelimpahan Decapoda. Bila itu bisa dilakukan sebanyak mungkin dan dipublikasikan, maka akan dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan ke depannya. Akan bermanfaat untuk kelestarian mereka (Decapoda dan spesiesnya, red),” ungkap Beginer. Adapun tim IPB University yang melakukan penelitian konservasi tersebut berjumlah 34 orang.
Top photo credit: iStock/ Siewwy84
All other photos credit: Dr. Beginer Subhan