Sore itu Sunardi lebih memilih berada di warung kopi di area Terminal Kenjeran, Surabaya-Indonesia ketimbang berkeliling dengan angkutan kota (angkot) miliknya untuk mencari penumpang. Kenaikan harga bensin pertalite dari sebelumnya IDR 7,650 menjadi IDR 10,000 per liter adalah alasan utamanya.
Sebagai informasi, angkutan kota (angkot) adalah salah satu jenis transportasi publik di banyak daerah di Indonesia. Moda transportasi ini dimiliki dan dioperasionalkan oleh mayoritas masyarakat di kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tarif angkot diatur secara ketat oleh pemerintah karena penumpangnya pun rata-rata juga dari kalangan yang ekonomi menengah ke bawah. Di Surabaya, saat ini hanya tinggal buruh pabrik di kawasan industri dan buruh di area pelabuhan saja yang mayoritas pengguna angkot.
Memiliki dan mengendarai sendiri angkot miliknya dengan rute di kawasan pesisir Surabaya, Sunardi mengatakan kepada Maritime Fairtrade jika kehidupannya bertambah berat usai kenaikan harga bahan bakar (BBM). Padahal, tanpa hal itu pun menurutnya ia sudah memiliki hidup yang susah karena sebagian besar pelanggannya memilih untuk menggunakan ojek online. Kemudahan kredit kepemilikan sepeda motor juga menjadi masalah lain baginya.
Ia mengatakan: “Sekarang sejak harga pertalite naik, semakin berat rasanya hidup ini. Penumpang saya juga berkurang drastis karena persaingan dengan ojek online. Paling bisa dapat penumpang hanya di sekitar jam 5 pagi dan jam 8 malam saja. Itu biasanya dari pemilik atau pekerja di warung-warung kecil di area Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Jumlahnya pun tidak banyak. Paling banyak hanya sekitar 10 orang saja. Alokasi bensin per hari jadi kurang. Sebelum BBM naik, saya di siang hari biasanya berkeliling mencari penumpang di jalan. Sekarang, sudah tidak mungkin. Biaya operasionalnya nggak nutup.”
Dengan paling banyak 10 penumpang tiap hari pulang-pergi, Sunardi mengaku jika ia bisa mendapatkan paling banyak IDR 100,000. Jumlah itu akan dipotong sebesar IDR 50,000 untuk biaya membeli BBM sebagai modal operasional. Sisanya, ia kumpulkan untuk makan sehari-hari keluarganya dan alokasi maintenance angkot miliknya. Saat ini, ia mengaku tengah memperjuangkan kenaikan tarif melalui Organisasi Angkutan Daerah (Organda). Organisasi yang menaungi para pemilik dan operator angkot.
Ketua Organda Surabaya, Sonhaji, memastikan jika saat ini pihaknya sedang berjuang demi Sunardi dan rekan-rekannya. Ia mengatakan jika diskusi dengan Pemerintah Kota Surabaya terus dilakukan. Diharapkan, tarif angkot bisa segera dinaikkan untuk meringankan beban para pemilik dan operator angkot.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 43 Tahun 2013, tarif angkot adalah IDR 5,000 per 15 kilometer. Apabila melebihi 15 kilometer, ada tambahan tarif sebesar IDR 1,500 per kilometer.
“Tentu jumlah itu sangat sedikit sekali apabila dibandingkan dengan kenaikan harga BBM yang terjadi. Angkot yang menjadi mata pencaharian banyak masyarakat miskin di Surabaya bisa hilang dan menambah jumlah pengangguran kalau dibiarkan. Untuk itu, kami dari Organda Surabaya sedang berdiskusi dengan Pemerintah Kota agar tarif angkot bisa dinaikkan di angka IDR 6,500 per 15 kilometer. Meski masih sangat kurang, nominal itu bisa membuat pemilik dan operator sedikit bernapas lega,” tegas Sonhaji.
Hal itu pun juga telah dipastikan oleh pejabat Pemerintah Kota Surabaya, Sunoto. Ia mengatakan jika formulasi baru tarif angkot saat ini sedang dihitung. Diharapkan, tarif baru angkot bisa diterapkan di akhir Bulan September. Ia pun menjamin jika hitungan tarif baru itu diupayakan semaksimal mungkin tidak memberatkan para pengguna angkot.
Di sisi lain Sri Wahyuni, penjaga warung kecil di area Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, justru merasa khawatir dengan rencana kenaikan tarif angkot. Menurutnya, kenaikan itu akan membuat pengeluaran bulanannya akan semakin bertambah. Padahal pendapatan bulannya saat ini jauh di bawah standard upah yang ditetapkan pemerintah karena ia hanya termasuk pekerja di sektor informal.
Ia mengatakan dengan putus asa: “Ini setelah BBM naik, beberapa harga barang kebutuhan sudah naik. Kalau tarif angkot ikut naik, saya akan semakin pusing mengatur keuangan. Gaji sebagai penjaga warung cuma IDR 1,500,000 per bulan. Sudah nggak mungkin naik walau harga BBM naik. Ketika tarif angkot naik IDR 1,000 pun dampaknya akan sangat terasa nantinya buat saya. Tapi ya mau gimana lagi, terserah pemerintah lah.”
Fenomena ini disorot oleh ekonom Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Wisnu Wibowo. Menurutnya, pemerintah perlu segera memperbaiki skema penyaluran subsidi BBM. Saat ini, meski sudah ada kenaikan harga, subsidi BBM masih tetap ada di Indonesia. Hal ini pun masih sangat berpotensi dinikmati oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas.
“Kalau kemudian pemberian subsidi BBM tidak dikendalikan, maka konsumen atau masyarakat yang akan terbebani pada akhirnya. Dalam jangka pendek, sektor rumah tangga akan terhantam keras karena adanya penambahan biaya hidup. Perlu ada skema penyaluran subsidi BBM yang tepat agar masyarakat ekonomi menengah ke bawah tidak semakin berat beban hidupnya,” tegas Wisnu.
All photos credit: Ibnu Wibowo