Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tengah menjadi sorotan. Mulai dari drama pembunuhan yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi, hingga beragam perilaku tak terpuji yang dilakukan polisi-polisi pangkat rendah, publik punya banyak alasan untuk kehilangan kepercayaan pada institusi penegak hukum tersebut. Dari sektor pekerja migran, masyarakat juga kian tak yakin polisi dapat menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang saat ini prosesnya sedang mandek.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno mengatakan tingkat kepercayaan para pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) kepada aparat kepolisian masih rendah, walau Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus melakukan berbagai upaya perbaikan. Kesimpulan itu muncul, karena lembaga tersebut gagal menuntaskan beragam kasus yang menimpa PP PMI saat sedang bekerja di kapal perikanan.
Menurut dia, sampai saat ini masih ada kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang berhenti di tangan polisi. Selama delapan tahun terakhir, pengaduan kasus yang melibatkan PMI PP jumlahnya mencapai 329 orang dengan jumlah kasus sebanyak 309. Dari jumlah tersebut, kasus paling banyak dilaporkan para PMI PP yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan.
Sepanjang periode 2013 hingga 2021, pengaduan yang berasal dari AKP jumlahnya mencapai 113 kasus, disusul dengan aduan dari pekerja kasino dengan 104 kasus, buruh pabrik dengan 59 kasus, pekerja rumah tangga (PRT) dengan 15 kasus, pekerja perkebunan dengan 13 kasus, dan pekerja salon dengan lima kasus.
Dia menyebutkan, sepanjang periode 2014 hingga 2021, ada kasus yang mandek di institusi kepolisian. Tak main-main, jumlah yang berhenti itu mencapai 19 kasus dan melibatkan para AKP yang bekerja di kapal perikanan dalam dan luar negeri.
AKP yang menjadi korban dari kasus yang dilaporkan dan mengalami kemandekan itu, jumlahnya mencapai 83 orang. Semua kasus tersebut dilaporkan resmi oleh SBMI ke pihak kepolisian, namun belum juga rampung sampai sekarang.
Menurut Hariyanto Suwarno, kasus yang dilaporkan ke kepolisian tersebut beberapa di antaranya melibatkan para AKP yang bekerja pada kapal ikan asing (KIA). Penanganan kasus tersebut dilakukan mulai dari tingkat Kepolisian Resor (Polres) sampai Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Mereka tak kunjung mendapatkan keadilan, sementara pelakunya masih bebas berkeliaran,” ungkap dia menyebut TPPO yang dilakukan para oknum.
Maksud dari pernyataan tersebut, tidak lain karena para AKP banyak yang sudah menjadi korban saat bekerja pada KIA. Bukan sekali, namun berkali-kali mereka sudah menjadi korban. Mereka mendapatkan perlakuan tersebut sejak dari proses perekrutan dan penempatan untuk bekerja di luar negeri.
Kemudian, saat sudah ada di Indonesia pun, mereka menjadi korban lagi karena kasus yang mereka laporkan tidak diusut sampai tuntas oleh pihak penegak hukum. Padahal, mereka berharap banyak pada pelaporan tersebut, agar bisa mendapatkan keadilan di mata hukum.
Beberapa hal yang masih sering ditemukan dalam proses penindakan hukum kasus TPPO, di antaranya adalah masih sulitnya membuat pelaporan untuk mendapatkan bukti laporan Polisi dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kemudian, aparat penegak hukum (APH) dalam menangani laporan kasus banyak yang tidak responsif terhadap gender, hak asasi manusia (HAM), dan melakukan pendekatan terhadap korban (victim approach).
Terakhir, dalam memproses pelaporan kasus dari AKP, APH dan para pihak yang berkaitan masih menggunakan dakwaan alternatif UU No.18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Regulasi hukum tersebut saat digunakan dinilai menimbulkan kerugian bagi korban.
Sejak 2014, dia menyebut bahwa SBMI sudah aktif mendampingi dan memberikan advokasi bagi AKP migran yang menjadi korban TPPO dan kerja paksa saat bekerja pada KIA. Kegiatan tersebut rutin dilakukan bersama Greenpeace Indonesia.
Dia bilang, semua praktik perdagangan orang yang berjalan sejak dari proses perekrutan sampai penempatan kerja AKP, menjadi bagian dari rantai praktik kerja paksa dalam industri perikanan secara global. Itu artinya, ada keterlibatan negara lain dalam praktik tersebut.
“Misalnya Tiongkok, Taiwan yang berperan sebagai negara pemilik kapal penangkap ikan, Thailand sebagai negara pengolah dan pengemas, serta Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sebagai konsumennya,” papar dia.
22 Orang AKP Indonesia Meninggal
Beberapa waktu lalu, peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muh Arifuddin mengatakan bahwa banyaknya kasus dan korban yang menimpa PMI PP, menegaskan bahwa Negara harus segera melakukan perbaikan.
“Ego sektoral masih jadi masalah, tumpang tindih aturan dan minimnya pengawasan. Dalam kondisi ini Presiden Joko Widodo mesti turun tangan ikut menyelesaikan,” jelas dia.
Akibat ketiadaan tindak lanjut dari Pemerintah, setiap tahunnya Negara harus mengurusi ribuan PMI PP yang mengalami masalah di luar negeri. Seharusnya, dengan kejadian yang berulang, Pemerintah bisa melaksanakan mitigasi dengan sangat baik dan detail.
Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, perlindungan terhadap PMI PP di luar negeri memang masih harus terus ditingkatkan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut, akan memberikan perlindungan penuh kepada mereka yang sedang mencari nafkah.
Akibat ketiadaan perlindungan yang baik, banyak PMI PP yang akhirnya menjadi korban kerja paksa, HAM, dan perdagangan orang selama bekerja di atas kapal perikanan asing. Tak sedikit, di antara mereka ada yang harus berakhir dengan meregang nyawa.
Dia menyebutkan, sepanjang 2020 saja, ada sebanyak 22 orang AKP asal Indonesia yang meninggal dunia saat bekerja pada kapal perikanan berbendera Cina. Selain itu, ada juga tiga orang yang dinyatakan hilang saat bekerja di kapal ikan Negeri Tirai Bambu.
“Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan,” ucap dia.
Mereka yang meninggal, rata-rata karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja yang tidak layak, dan keterlambatan penanganan. Sementara, fasilitas kesehatan di kapal Ikan Tiongkok diketahui sangat buruk dan mengakibatkan PMI PP yang sakit tidak mendapat perawatan.
Adapun, korban PMI PP tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan Tiongkok yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing).
“Lokus kejadian atau meninggalnya korban terjadi ketika kapal mereka sedang mencari ikan di laut Oman, Samudera Pasifik, Kepulauan Fiji, Laut Afrika, Samudera Hindia, Laut Pakistan dan Australia,” terang dia.
Selain itu, Abdi juga menyebut adanya praktik penyelundupan manusia yang dialami oleh PMI PP. Mereka yang sakit dan meninggal, biasanya dipindahkan ke kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan.
Ratifikasi Konvensi ILO
Agar penegakan hukum bisa berjalan maksimal, Pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi regulasi yang berlaku secara internasional dan menjadi instrumen perikanan global yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO).
Regulasi tersebut tidak lain adalah Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss. Jika diratifikasi, regulasi tersebut bisa memperkuat diplomasi Indonesia.
Dengan demikian, perlindungan hukum kepada AKP Indonesia menjadi lebih kuat menyusul berlakunya UU No.18/2017, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Dengan fakta tersebut, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menilai kalau penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia akan selalu menjadi kunci dalam kegiatan yang sama dan pemberantasan praktik kerja paksa kepada para AKP yang ada di dunia.
Dia menilai kalau peran tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Polri untuk bisa mengembalikan krisis kepercayaan publik yang selama ini ragu bahwa lembaga Negara tersebut adalah pengayom bagi masyarakat.
Jika Polri bisa menjalankan perannya dengan baik, maka diyakini mata rantai perbudakan AKP bisa diputus dan itu artinya harus ada penindakan hukum yang tepat dan tegas kepada lembaga perekrut (manning agency) yang berani melawan hukum.
“Sehingga perlahan kita juga memperbaiki tata kelola perekrutan dan penempatan ABK perikanan migran,” ungkap dia.
Secara umum, Afdillah menyebut kalau laut menjadi tempat yang nyaman untuk para oknum melakukan kejahatan lingkungan, yaitu penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan menyalahi aturan (IUUF); dan kejahatan kemanusiaan, yaitu perbudakan modern, serta TPPO.
Sedihnya, dua praktik tersebut diduga kuat dilakukan kepada para AKP yang berasal dari Indonesia. Praktik kejahatan perdagangan itu terindikasi dilakukan oleh orang dalam lingkaran bisnis perikanan secara global.
Agar semua kasus pelanggaran yang terjadi dalam praktik kerja di atas kapal perikanan bisa dihentikan, Afdillah menyebut bahwa itu diperlukan kerja sama dari semua pihak agar penegakan hukum bisa diterapkan dengan tegas kepada para pelanggar.
Kerja sama yang bagus, akan bisa mengusut tuntas kasus TPPO dengan korban AKP migran dan perusahaan yang terindikasi melakukan praktik kejahatan itu. Selain itu, ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan juga penting untuk dilakukan Indonesia, agar penanganan kasus TPPO bisa berjalan baik dan maksimal.
Upaya Pemerintah
Apa yang sedang menimpa profesi AKP, juga disadari sejak lama oleh Pemerintah Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan berulang kali melakukan kampanye perlindungan PMI PP pada setiap kegiatan.
Dia juga selalu mengajak negara lain untuk bisa bersama melaksanakan perlindungan penuh kepada tenaga kerja perikanan di negara mereka. Luhut mengatakan ada regulasi empat pilar utama yang menjadi penyokong sektor perikanan.
Keempatnya adalah Port State Measurement Agreement (PSMA) mengenai pengelolaan ikan untuk mencegah IUUF, Cape Town Agreement (CTA) 2012 mengenai stabilitas dan konstruksi kapal perikanan yang layak, ILO C-188 mengenai pemenuhan hak awak kapal perikanan, dan STCW-F mengenai kualifikasi dan sertifikasi dari awak kapal perikanan.
Detailnya, ILO C-188 adalah norma tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss. Kemudian, CTA adalah peraturan yang disepakati secara internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2012 dengan Organisasi Maritim Internasional (IMO) sebagai inisiatornya.
Sementara, Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F) pada 1995. Pengesahan hasil konvensi tersebut diterbitkan melalui Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2019.
Kemudian, ada juga ratifikasi yang dilaksanakan pada 2016 tentang konvensi perjanjian negara-negara pelabuhan untuk tindakan kepelabuhan (PSMA). Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia semakin kuat untuk bisa mengawasi pelabuhan dalam mencegah berbagai aktivitas negatif.
Secara resmi, ratifikasi tersebut disahkan Perpres RI 43/2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur).
Top photo credit: SBMI. Aktivis hak-hak nelayan migran.