Indonesia memastikan efektifitas perikanan berbasis kuota akan menyejahterakan nelayan. Hal tersebut dikatakan Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) Dr. Kusdiantoro. “Perikanan berbasis kuota adalah kunci dari visi perikanan Indonesia 2045. Dan bukan hanya kunci satu-satunya, tapi salah satu dari beberapa kunci intervensi kita,” ujar Kusdiantoro.
Selanjutnya muncul pertanyaan, mengapa harus ada intervensi dalam mewujudkan visi perikanan tersebut? Kepada Maritime Fairtrade Kusdiantoro menjelaskan, sebagai negara maritim, perairan Indonesia adalah rumah bagi ekosistem laut dan keanekaragaman hayati laut yang paling produktif. Meski memiliki objek terbesar dalam kehidupan ekosistem laut yang produktif, namun bukan mustahil keruntuhan sendi-sendi rumah bagi ekosistem itu bisa terjadi.
Penyebabnya, tak lain adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak terkendali dan berlebihan. Bila tidak segera diperbaiki dari sekarang, maka Indonesia harus merelakan hancurnya rumah tersebut. Selanjutnya, jika itu terjadi, dapat dengan mudah terlihat masa depan para pelaku sektor perikanan. Mereka akan kesulitan mengais rezeki dari sumber daya perairan, dan alhasil, kesejahteraan pun ikut menjauh.
Tak hanya merusak kesejahteraan nelayan, aktifitas perikanan yang ugal-ugalan juga dapat merusak permintaan akan kebutuhan ikan, terutama ikan segar. Perlu diketahui bahwa geliat ekspor produk perikanan Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan besar.
Data dari catatan PT Perikanan Indonesia (Persero) pada bulan lalu menunjukkan bahwa jangkauan ekspor Perikanan Indonesia saat ini sudah tersebar ke sembilan negara, antara lain Amerika Serikat (AS), Jepang, Thailand, Filiphina, China, Taiwan, Mesir, Singapura, dan Korea Selatan.
Khusus untuk Singapura, pihak Perikanan Indonesia Cabang Bitung menyatakan sanggup permintaan dari perusahaan di Singapura, Kida Food Ltd. Produk yang di ekspor adalah Ikan Tuna loin segar Fresh dengan kuantitas sekitar 500-600 kg. Ekspor ini dilakukan secara kontinyu menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku atau raw material di Cabang Bitung. Artinya, ada banyak negara yang telah menggantungkan harapan kebutuhan ikannya, kepada Indonesia. Inilah mengapa fokus kebijakan perikanan berbasis kuota sangat dikawal oleh pihak pemerintah dan swasta, karena terkait banyak kepentingan umum.
Senada dengan Kusdiantoro pada awal paparan, bahwa ada kunci-kunci intervensi lainnya pada visi perikanan Indonesia, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Artati Widiarti, mengungkapkan kunci tersebut adalah ekspor berbasis komoditas akuakultur, budidaya perikanan untuk pemberdayaan masyarakat, serta dukungan hilirisasi yang kuat secara bertanggung jawab.
Hilirisasi
Seiring sejalan dengan fokus perikanan berbasis kuota, Indonesia juga tengah menggalakkan produk-produk bahan baku perikanan, menjadi bahan yang sudah terproses (hilirisasi perikanan). Beberapa produk ekspor perikanan Indonesia yang dikirim ke AS berupa ikan tuna yang sudah diproses menjadi tuna saku, tuna steak dan tuna center cut. Ikan tuna ini telah diproses dari raw material menjadi ikan tuna yang memiliki nilai tambah (added value), dengan begitu nilai jualnya akan lebih tinggi.
Kunci-kunci intervensi tersebut kemudian menjadi elemen untuk mendukung gagasan kesuksesan perikanan Indonesia di masa depan, yang dinamakan Perikanan Emas 2045.
Saat ini, Kusdiantoro menjelaskan, langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mendukung Perikanan Emas 2045 ialah kajian dan pembahasan mendalam untuk menghasilkan suatu rumusan sebagai sumbangsih pemikiran bagi kesuksesan pembangunan jangka panjang nasional di sektor perikanan.
Pengolahan produk perikanan merupakan suatu sub sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perikanan. Menurutnya perikanan Indonesia dari sisi produksi sudah cukup baik, namun perlu adanya peningkatan dan determinasi, dari sisi pengolahan dan pemasaran.
“Kita ambil hilirnya. Karena ini merupakan suatu sub sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perikanan, yaitu pengolahan dan pemasaran. Di situ kita melihat bawasanya kita masih menduduki peringkat delapan sampai dengan sepuluh untuk ekspor perikanan Indonesia. Padahal kita produksinya sudah di posisi kedua untuk penangkapan dan kelima untuk budidaya. Artinya sisi produksinya sudah cukup baik, tetapi bagaimana kita meningkatkan sub sektor pengolahan dan pemasaran,” ujarnya.
Kusdiantoro melanjutkan, meski saat ini telah terjadi peningkatan ekspor, namun produksi perikanan Indonesia untuk ekspor masih untuk pasar tradisional (pasar lama). Dengan demikian, menurutnya perlu dibuat terobosan untuk pasar baru produk perikanan melalui penyelesaian pembahasan masalah tarif dan non tarif ekspor produk perikanan di tingkat bilateral, regional dan internasional.
Kusdiantoro tutur: “Kita melihat selama dua tahun terakhir ada peningkatan ekspor yang sudah cukup baik dilakukan, namun demikian kita juga melihat bawasanya produksi kita untuk ekspor masih untuk pasar-pasar tradisional. Amerika masih menguasai 40 persen, kedua Tiongkok, ketiga Jepang, baru ASEAN dan Uni Eropa (EU).
“Artinya kita perlu membuat trobosan baru untuk pasar-pasar baru produk perikanan, di samping produk kita masih berorientasi pada udang yang menguasai hampir 40 persen dari ekspor yang kita hasilkan, disusul oleh tuna, tongkol, cakalang, dan komoditas lainya. Ini suatu gambaran posisi perikanan saat ini dengan adanya kegiatan ini kita membuat suatu desain yaitu Perikanan Emas 2045.”
Photo credit: iStock/ Riza Azhari