Potensi korupsi yang tinggi dalam kenaikan harga BBM di Indonesia

Pemerintah Indonesia resmi menaikkan harga bahan bakar bersubsidi di awal September. Untuk bensin berjenis Pertalite, dari sebelumnya IDR 7,650 menjadi IDR 10,000 per liter. Sedangkan solar yang sebelumnya IDR 5,150 menjadi IDR 6,800 per liter. Kenaikan harga itu dipandang oleh Wibisono Hardjopranoto, Professor Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya), bakal berdampak serius kepada sektor transportasi. Khususnya transportasi maritim.

Status Indonesia sebagai negara maritim dipandang bakal menjadikan sektor transportasi, khususnya di bidang maritim, akan mengalami dampak yang parah dan dalam waktu dekat. Sebab, hampir seluruh arus keluar masuk barang serta distribusi dalam maupun luar negeri di Indonesia masih bergantung banyak ke sektor transportasi maritim.

Pekerja pelabuhan. Photo credit: Pelindo

“Jelas terdampak dalam waktu dekat itu adalah transportasi dan logistik. Dampaknya memang inflatur, tapi tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah harus siap dengan lonjakan inflasi yang akan segera terjadi. Jadi pemerintah tidak boleh diam saja.Bantuan-bantuan harus tetap diberikan,” kata Wibisono.

Pola bantuan yang diberikan juga menurutnya harus tepat sasaran agar benar-benar bisa membantu masyarakat miskin yang terdampak dengan kenaikan harga bahan bakar. Potensi korupsi dana bantuan pun dipandang juga sangat besar. 

Wibisono menjelaskan: “Mereka yang akan terdampak parah dari inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar ini adalah kelompok masyarakat fake income group. Mereka yang pendapatan per bulannya seringkali naik-turun secara drastis. Kelompok ini harus total mendapatkan bantuan dari pemerintah karena mereka sangat rentan. 

“Kalau memungkinkan, subsidi bahan bakar ini dicabut total dan dana yang ada dialokasikan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Itu akan menjadi lebih tepat sasaran. Sampai saat ini banyak sekali kasus bahan bakar bersubsidi justru dinikmati kelompok-kelompok menengah ke atas. Itu juga bagian dari tindakan korupsi.”

“Koruptor-koruptor itu, dari level pemerintahan pusat sampai pemerintahan daerah di level RW juga harusnya jangan bermain dengan bantuan. Banyak sekali di level RW alokasi bantuan tidak tepat sasaran karena permainan nepotisme. Mereka yang dapat hanya kolega-kolega dari Ketua RW setempat saja,” ia menambahkan.

Ship passengers. Photo credit: Pelindo

Persoalan korupsi dana bantuan, khususnya setelah harga bahan bakar naik, juga menjadi sorotan dari lembaga-lembaga corruption catch di Indonesia. Ardito, peneliti salah satu lembaga corruption watch, mengungkapkan telah memiliki beberapa catatan terkait itu. Salah satunya, sama seperti pernyataan Wibisono, adalah terkait proses pendataan penerima bantuan. 

Ardito jelas: “Dari segi pendataan, celahnya terbuka lebar. Mulai dari proses pendataan hingga distribusi. Kami sudah mendapatkan data jika ada perbedaan data antara pemerintah daerah dengan Kementerian Sosial. Pihak pihak pemerintah daerah memastikan telah memiliki data terbaru, namun itu tidak digunakan oleh Kementerian Sosial yang entah karena alasan apa. 

“Kalau bicara sektor maritim, banyak nelayan yang seharusnya mendapatkan bantuan justru malah tidak menerima. Karena mereka berada di hulu sektor transportasi dan bahan makanan maritim, maka di hilir bisa memicu kenaikan harga ikan yang juga bisa berkontribusi kepada lonjakan inflasi.” 

“Jangan lupa sejarah soal pendistribusian bantuan COVID-19, Menteri Sosial saat itu sudah terbukti melakukan korupsi dana bantuan hingga IDR 16,2 milliar. Tentunya hal ini harus menjadi pengawasan serius agar tidak terulang lagi,” ia menambahkan.

Truk pengangkut bahan bakar. Photo credit: Ibnu Wibowo

Ardito juga menyoroti perkara ulah korup beberapa orang yang nekat menggunakan solar subsidi untuk keperluan industri. Di Indonesia, bahan bakar solar untuk industri tidak boleh menggunakan solar bersubsidi. Perbedaan harga keduanya bisa mencapai IDR 10,000 per liter. Sanksi untuk para pelaku pelanggar aturan itu bisa berujung pada pencabutan lisensi usaha mereka.

“Mereka yang nekat menyalahgunakan solar bersubisidi untuk keperluan industri ini bisa menjadikan dampak kenaikan harga bahan bakar di sektor transportasi dan maritim terasa lebih parah. Ketika sektor transportasi yang menunjang sektor maritim kesulitan mencari bahan bakar bersubsidi, tentunya mereka akan menaikkan harga agar tidak rugi. Kalau sudah begitu, maka jelas inflasi yang sedang menanjak naik akibat kenaikan harga bahan bakar bisa menjadi semakin tinggi nantinya,” ia mengatakan.

Antrian panjang di SPBU. Photo credit: Ibnu Wibowo.

Untuk itu, baik Ardito maupun Wibisono meminta agar pemerintah bukan hanya fokus ke permasalahan ekonomi saja usai menaikkan harga bahan bakar. Masalah korupsi pun juga harus menjadi perhatian serius agar solusi ekonomi yang sudah dirancang bisa berjalan maksimal.

“Aksi korupsi itu tentunya akan menjadi tambahan beban anggaran negara. Padahal, seharusnya keputusan menaikkan harga bahan bakar adalah demi mengurangi beban anggaran negara dan mengalihkan alokasinya untuk membantu masyarakat miskin,” Ardito menegaskan.

Di sisi lain, Kepala Polresta Sidoarjo Komisaris Besar (Kombes) Polisi Kusumo Wahyu Bintoro memastikan jika pasukannya terus bergerak untuk mencari dan mengungkapkan kasus-kasus penyalahgunaan bahan bakar bersubsidi. Hal itu dilakukan untuk mendukung kebijakan pemerintah agar lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan beberapa pihak.

“Terbaru, beberapa hari yang lalu ada pelaku penyalahgunaan bahan bakar bersubsidi yang kami tangkap. Mereka memodifikasi tempat duduk di kabin mobil sehingga menjadi tangki bahan bakar tambahan demi bisa mendapatkan lebih banyak bahan bakar bersubsidi,” ia mengungkapkan.

Sopir mengantri bensin. Photo credit: Ibnu Wibowo

Top photo credit: Indonesian Police. Tersangka kasus korupsi.

The best maritime news and insights delivered to you.

subscribe maritime fairtrade

Here's what you can expect from us:

  • Event offers and discounts
  • News & key insights of the maritime industry
  • Expert analysis and opinions on corruption and more