Dalam pembukaan acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, Presiden Joko Widodo menekankan agar dunia mengakhiri segala konflik dan peperangan. Selain demi menjaga komitmen bertanggung jawab secara bersama-sama, juga untuk menghormati hukum internasional dan prinsip piagam PBB secara konsisten. “Menciptakan situasi win-win bukan zero-sum. Kita harus mengakhiri perang,” papar Presiden Joko Widodo selaku tuan rumah Presidensi G20 Indonesia, di ruang pertemuan bilateral Apurva Kempinski, Nusa Dua, Bali, Selasa (11/15/202).
Dalam hal ini, peperangan akan berimplikasi cukup berat kepada ketahanan pangan dunia. Maka ketika perang masih terus berlangsung, krisis pun ikut berlanjut. “Perang masih terjadi dan berdampak di berbagai krisis, terutama terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan. Sangat dirasakan dunia, terutama negara berkembang,” ujar Joko Widodo yang biasa disapa Jokowi.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, Jokowi kemudian menyinggung soal pupuk, yang dinilainya tidak boleh diremehkan. Jika langkah untuk menjaga ketersediaan pupuk tidak serius dijalankan, bukan mustahil bila kelak 2023 menjadi tahun yang suram. Kelangkaan pupuk, menurutnya sangat menghantui dari sisi gagal panen.
Maka bila berbagai belahan dunia ini mengalamai gagal panen secara masif lantran kelangkaan pupuk, maka terjadilah kerawanan pangan. Jokowi mencatat, 48 negara berkembang dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi akan menghadapi kondisi yang sangat serius, bila langkah antisipasi tidak dilakukan dengan baik. Di akhir pembukaan, Jokowi meminta agar semua pihak dapat bersikap bijak dan lagi-lagi tentang tanggung jawab. “Mari kita bekerjasama untuk dunia,” tutup Jokowi.
Menanggapi apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo tersebut, terutama mengenai peristiwa dunia yang berkaitan langsung dengan masyarakat umum, Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta Timur, M. Sirod, berharap agar Indonesia memiliki langkah konkret.
“Presiden dalam pembukaannya menekankan untuk menyudahi perang, maka sebaiknya Indonesia menunjukkan langkah nyatanya dalam menghentikan perang tersebut. Misalnya aktif dalam aktivitas internasional yang menekan peperangan, seperti yang dilakukan Presiden Soekarno dulu. Semoga hal seperti itu juga dilakukan Indonesia,” ungkap Sirod kepada Maritme Fairtrade.
Dia juga mendukung pemerintah yang ke depannya siap melakukan langkah nyata lainnya, yaitu di bidang ketahanan pangan. Memperkuat ketahanan pangan, menurut Sirod, tentunya penting dilakukan untuk menjaga masa depan negara, yang rentan akan gejolak perekonomian -bahkan mungkin juga, potensi krisis ekonomi. “Namun harus seiring juga dengan memperkuat kedaulatan pangan,” ujarnya.
Dengan banyaknya kearifan lokal di Indonesia -dalam hal menjaga ketahanan pangan di setiap daerah, maka Indonesia juga harus memiliki kedaulatan pangan, menghormati cara-cara yang dilakukan setiap daerah di negara ini, dalam memenuhi hak atas pangan mereka.
Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan, sesuai dengan budaya lokal yang ada. Pada akhirnya, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat, untuk memproduksi pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan juga berarti hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan, tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Photo credit: Angiola Harry. G20 Summit.