Indonesiabukan hanya indah di permukaan, tapi juga punya alam bawah laut yang menawan. Surga wisata bahari dengan terumbu karang, rerumputan laut, hingga aneka ikan warna-warni tersebar luas di perairan Nusantara. Hal ini jadi daya tarik wisatawan mancanegara.
Kekayaan laut inilah yang menarik minat para penggiat wisata bahari, khususnya para penyelam untuk datang ke Indonesia dan menjelajahi alam bawah laut Indonesia. Sayangnya, seiring semakin banyaknya aktivitas manusia baik di darat maupun di laut sangat berpengaruh kepada kelestarian laut.
Maka dari itu, Divers Clean Action (DCA) menghadirkan Talkshow dengan judul “Sambil Menyelam Minum Sampah?” acara ini sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, khususnya para penyelam, terkait ancaman mikroplastik terhadap lingkungan, aktivitas penyelaman serta dampaknya bagi kesehatan masyarakat.
Pencemaran akibat sampah yang ada di laut, secara tidak langsung akan mengancam banyak hal yang ada di bumi. Termasuk, ancaman kepada manusia yang menjadi penguasa alam raya sejak berabad-abad lalu. Ancaman itu tidak hanya berbentuk langsung, namun juga tidak langsung.
Akibat ancaman tidak langsung dari sampah di laut, manusia akan merasakan dampak seperti perubahan perilaku yang tidak disadari, gangguan hormon, kelainan genetik, penyakit kanker, dan juga penyakit aneh lain yang berpotensi bisa muncul kapan saja.
Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) M Reza Cordova memaparkan hasil penelitian lapangan dari program MicroSEAP, program kolaborasi antara BRIN, DCA dan Burung Indonesia dengan University of Portsmouth UK.
MicroSEAP adalah sebuah program riset kolaborasi untuk mendapatkan data terkait bagaimana mikroplastik memberikan dampak pada perairan, biota laut, serta memberikan rekomendasi terkait kebijakan di Indonesia dalam sudut pandang regional ASEAN.
Reza menyampaikan, berdasarkan metode pemodelan yang juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia, hasil riset Science Advances pada tahun 2021 menemukan bahwa saat ini Indonesia menduduki peringkat kelima, dari sebelumnya peringkat kedua, penyumbang sampah ke lautan dunia.
Dimana diperkirakan, lebih dari 500 ribu ton sampah bocor ke laut setiap tahunnya. Namun, tingkat mikroplastik yang ditemukan baik di air, sedimen, dan biota laut semakin meningkat. “Contohnya, pada sampel kerang hijau di Jakarta, telah meningkat dari 70 persen mengandung mikroplastik sekarang sudah 100 persen. Selain itu tidak hanya di air, namun juga di udara Jakarta, mikroplastik sudah ditemukan,” ungkap dia.
Mikroplastik bisa berbahaya bagi kesehatan jika terhirup oleh sistem pernapasan manusia. Ketika udara yang mengandung mikroplastik terhirup maka secara tidak langsung memasukkan racun. Baik plastik sendiri, bahan aditifnya atau campuran dari polutan lain ke dalam tubuh.
“Plastik memiliki sifat yang unik. Sebab menjadi tempat penempelan bagi bahan polutan yang lain. Ketika plastik ini masuk dalam organ tubuh yang ternyata ditempeli oleh bahan polutan yang lain dan ikatan itu tidak lepas, maka berpotensi meninggalkan luka di dalam tubuh,” katanya.
Nutrisionis Dr. Rita Ramayulis, DCN, MKes menyatakan dari sudut pandang kesehatan, plastik ternyata memiliki dampak buruk untuk tubuh manusia.
Ia menyampaikan mikroplastik bisa masuk ke tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Jika mikroplastik sudah masuk ke dalam tubuh maka timbulkan efek dan risiko seperti menjadi penyebab kanker dan gangguan organ reproduksi.
“Kita dapat meningkatkan barrier tubuh kita agar dapat mengeluarkan mikroplastik yakni: meningkatkan kesehatan pencernaan, meningkatkan fungsi sel-sel imunitas, dan meningkatkan pengeluaran cairan melalui urin dan keringat,” ujar dia.
Penikmat wisata selam, diving influencer dan travel blogger Marischka Prudence mengatakan, aktivitas manusia, termasuk kegiatan pariwisata berpotensi menghasilkan sampah plastik dan tentu saja bisa berdampak buruk bagi kebersihan dan kelestarian lingkungan.
“Influencer dapat mengajak untuk mengurangi dan menanggulangi sampah plastik melalui konten yang menarik, namun aksi bersih-bersih saja memang tidak cukup. Hal ini harus dibarengi dengan dukungan pemerintah melalui kebijakan dan implementasi yang tegas,” kata Marischka.
Top photo credit: Pixabay/ A_Different_Perspective