Keterlibatan generasi dalam menjalankan komitmen perubahan iklim itu penting, mengingat saat ini terus terjadi peningkatan suhu udara yang menjadi pertanda bahwa krisis iklim sudah semakin nyata. Di mana perubahan suhu tersebut menyebabkan musim hujan dan kemarau tidak menentu, serta memicu terjadinya cuaca ekstrem seperti badai, banjir dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Sumpah Pemuda sekitar 80 organisasi dan komunitas yang tersebar di 279 titik di Indonesia, menggelar gerakan serentak dengan nama Aksi Muda Jaga Iklim (AMJI).
Tujuannya, mengajak pemuda-pemudi Indonesia memaknai peringatan tersebut dalam aksi nyata untuk perbaikan lingkungan hidup. Sebab, dampak krisis iklim disebut semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Di berbagai lokasi, banyak pemuda dilibatkan dalam sejumlah kegiatan, misalnya penanaman mangrove, transplantasi terumbu karang, cabut paku, pentas seni, eco-fashion dan lain sebagainya. Di Tangerang Mangrove Center, contohnya, sekitar 303 peserta melakukan penanaman 2000 bibit mangrove.
CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengatakan, aksi bersama ini dilakukan selain untuk memberikan kesadaran terhadap dampak krisis iklim juga membantu pemerintah dalam merehabilitasi wilayah mangrove. “Orang muda harus berkolaborasi bersama semua pihak, salah satunya pemerintah, untuk mengurangi dampak krisis iklim,” ujarnya.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum Ciliwung,Pina Ekalipta, mengapresiasi semangat kolaborasi pemuda-pemudi tersebut. Menurutnya, gerakan menanam sudah selayaknya disemarakkan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dia berharap, AMJI 2022 dapat menindaklanjuti kegiatan tanam mangrove dengan aksi-aksi perlindungan ekosistem ini.
“Saya tidak ingin hanya seremoni. Menanam itu gampang, tapi yang susah memeliharanya. Ke depannya harus bisa mengawal apa yang sudah kita taman. Itu harapan kami,” ujar Pina.
Dia turut menekankan pentingnya pelibatan masyarakat pesisir sebagai subjek terdekat dalam upaya-upaya perlindungan mangrove. Untuk itu, edukasi lingkungan hidup perlu lebih digencarkan. Salah satunya dengan membalik konsep berpikir tentang menebang untuk dapat uang.
“Dengan menanam, mereka bisa dapat kepiting atau apapun. Kemudian dengan carbon trade, kita bisa dapat duit tanpa harus menebang mangrove,” jelas Pina.
Kepala Seksi II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta, Dian Banjar Agung, menambahkan, pelibatan masyarakat terutama generasi muda dapat dilakukan dengan mengajak karang taruna di tiap desa. Kemampuan berorganisasi dan ide yang mereka miliki merupakan bekal yang positif untuk gerakan perlindungan ekosistem.
“Jangan sampai mereka terlupakan. Jadikan mereka subyek, karena mereka ada di situ dan mereka yang merasakan dampak langsungnya. Harapan kami, ini jadi titik awal. Banyak yang bisa dipulihkan, dirawat. Ini sumbangsih yang bagus untuk mengurangi karbon,” jelas Dian.
Kegiatan penanaman mangrove di Tangerang Mangrove Center itu diselenggarakan oleh Penjaga Laut, dan mendapat dukungan dari BPDAS Citarum Ciliwung, BKSDA Jakarta, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Perhutani, Pramuka dan Yayasan EcoNusa.
Kegiatan ini berlangsung di 142 lokasi di Indonesia, dengan mengusung semangat kemerdekaan. Gerakan ini berakar dari keresahan pemuda akan krisis iklim.
Beberapa tahun belakangan, generasi muda cukup mudah memperoleh informasi soal musim dan cuaca yang kian tidak tentu, petani gagal panen dan nelayan sulit menangkap ikan. Tanpa aksi nyata, kondisi bumi dikhawatirkan akan semakin memburuk.
Perasaan cemas tentang situasi di masa depan itulah yang mendorong komunitas Penjaga Laut menyelenggarakan AMJI. Seperti dikatakan Yolanda Parede, Koordinator Nasional Penjaga Laut, kondisi bumi saat ini sedang tidak baik-baik saja dan dampaknya berpotensi dirasakan oleh seluruh umat manusia. Aksi nyata pemuda diharapkannya dapat memberi solusi bagi perbaikan di masa depan.
“Baru-baru ini saya baca, tahun 2045, kita akan masuk usia Indonesia ke-100. Disebut Indonesia emas karena populasi masyarakat dipenuhi anak-anak muda usia produktif. Tapi itu cuma narasi yang diperindah. Di tahun-tahun itu kita sudah mengalami darurat iklim,” ujar Yolanda.
“Kira-kira apa yang anak-anak muda bisa lakukan? Orang-orang muda itu agen perubahan. Harus bisa menularkan semangat dan kesadaran ke banyak orang. Karena nanti kita yang akan kena dampak krisis iklim,” lanjutnya.
Karena itu, kata Yolanda, aksi ini tidak akan berhenti pada kegiatan serentak di tanggal 29 Oktober 2022. Namun, akan terus diperluas lewat pelibatan masyarakat sehingga memberi dampak yang lebih besar di kemudian hari. Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan juga akan terus dipantau dan dievaluasi.
“2 tahun ini kami berbangga hati bisa bikin sesuatu yang besar tapi juga dampaknya radikal. Orang harus lebih mengerti perannya menjaga iklim. Jadi, saya harus highlight kembali, aksi jaga iklim bukan hanya tanggal 29. Ini baru kick off untuk membuka aksi muda jaga iklim sepanjang tahun,” tambah Yolanda.