Dagangan ikan di kios bahan makanan eceran di Sidoarjo – Indonesia milik Paijo nampak masih banyak. Hal itu tidak seperti biasanya. Sebelum harga BBM naik, menurutnya ia bisa menjual 10-20 ekor ikan kembung dan ikan selar ke ibu-ibu rumah tangga dari keluarga miskin di sekitar tempatnya berjualan.
Kedua jenis ikan itu seharusnya adalah sumber protein hewani murah yang masih bisa dijangkau oleh masyarakat miskin. Namun, karena kenaikan harga BBM, satu ekor ikan kembung atau ikan selar dengan berat sekitar 250 gram kini harganya berada di kisaran IDR 10 ribu. Sebelumnya, harga kedua jenis ikan itu hanya berada di kisaran IDR 5 ribu untuk berat di kisaran yang sama.
Kepada Maritime Fairtrade, Paijo mengaku jika terpaksa menaikkan harga ikan yang ia jual sejak harga BBM resmi dinaikkan oleh pemerintah. Ia mengaku tidak bisa lagi menjual dengan harga yang sama karena harga kulak dari suppliernya juga turut naik.
Ia mengatakan: “Ini sekarang sudah stabil di harga sekitar IDR 10 ribu untuk ikan selar atau kembung seperempat kilogram. Sejak awal pemerintah menaikkan harga BBM, harga dari supplier setiap hari perlahan naik. Sekarang stabil di kenaikan sekitar 50 persen itu. Sesungguhnya saya tidak ingin menaikkan harga, tapi gimana lagi, saya malah bisa rugi besar nanti kalau harga tidak dinaikkan.”
Dampak dari kenaikan harga, dagangan Paijo yang biasanya sudah ludes di jam 7 atau paling lambat jam 8 pagi, masih sangat banyak di pukul 9 pagi itu. Kenaikan harga yang terjadi menjadikan daya beli masyarakat miskin di sekitar area ia berjualan turun drastis. “Hitungan kasar saya ini, jumlah penjualan ikan saya anjlok sampai hampir lebih dari 50 persen. Bingung juga saya ini kalau stok ikan selalu sisa di setiap hari,” ujarnya.
Perkiraan Paijo itu ternyata benar adanya. Maritime Fairtrade berhasil mewawancarai dua ibu rumah tangga di area sekitar kios ikan Paijo, Suci dan Ambarwati. Keduanya adalah ibu rumah tangga dari keluarga miskin.
Suci adalah istri dari seorang pekerja pabrik. Sehari-hari ia menjadi ibu rumah tangga mengasuh ketiga anaknya sementara sang suami bekerja. Kenaikan harga ikan tentu sangat berdampak baginya. Ia mengaku jika hingga saat ini gaji suaminya belum juga mengalami kenaikan meski harga BBM sudah naik.
Ia mengatakan: “Beratnya sudah terasa sekali. Pengeluaran melonjak drastis dari berbagai sisi. Saya biasanya beli 4 ikan untuk makan keluarga saya dalam 1 hari. Sejak kenaikan pengeluaran begitu terasa, saya hanya beli 2 saja. Kalau tidak begitu, uang yang ada setiap bulan tidak akan cukup. 2 ekor ikan itu prioritasnya untuk anak-anak saya. Saya dan suami, ibaratnya, makan nasi putih sama garam saja tidak masalah. Yang terpenting bagi kami adalah kebutuhan gizi anak-anak masih tetap terpenuhi.”
Jika Suci harus mengurangi jumlah ikan yang dibeli dalam sehari, langkah berbeda diambil oleh Ambarwati. Ambarwati adalah ibu rumah tangga dari keluarga dengan 2 orang anak. Suaminya bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan logistik.
Untuk menyiasati kenaikan harga ikan akibat melonjaknya harga BBM, Ambarwati mengaku harus menjalani beberapa pekerjaan paruh waktu demi bisa menambah pemasukan keluarga. Hal itu menjadi sangat melelahkan baginya karena kedua anaknya masih berusia di bawah 5 tahun.
Ambarwati kata: “Yang bisa kita beli demi kebutuhan gizi keluarga hanya ikan. Ayam atau daging sapi sudah tidak mungkin terbeli. Mau mengurangi pembelian ikan juga tidak mungkin. Suami saya juga butuh energi untuk bekerja. Jadinya walaupun berat, saya bekerja paruh waktu menjadi buruh cuci dan setrika baju atau membersihkan rumah dari tetangga-tetangga yang membutuhkan jasa itu.
“Kalau dibilang capek, tentu saja sangat capek. Dua anak saya masih kecil-kecil, butuh perhatian ekstra dan luar biasa. Tapi bagaimana lagi. Keluarga saya butuh pemasukan tambahan. Suami saya sudah bekerja sampai malam sekali, tidak mungkin menambah pekerjaan sambilan, saya harus ikut bekerja apapun resikonya.”
Baik Suci maupun Ambarwati berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib masyarakat miskin seperti mereka. Masih ada sedikit harapan dari keduanya agar harga BBM bisa kembali turun. Kalaupun itu tidak mungkin, mereka berharap ada bantuan-bantuan dari pemerintah yang benar-benar bisa meringankan beban mereka.
Kerasnya hidup yang dialami oleh masyarakat miskin usai kenaikan harga BBM itu dinilai oleh professor ilmu sosial Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Bagong Suyanto, sebagai dampak yang harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Meningkatnya jumlah masyarakat miskin menurutnya juga sangat berpeluang besar terjadi.
Bagong urai: “Efek domino kenaikan harga BBM memicu rentetan kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Itu sudah pasti akan menambah beban hidup mereka. Terlebih lagi masyarakat yang sudah miskin bahkan sebelum harga BBM naik.
“Yang perlu diwaspadai adalah kelompok masyarakat near poor. Sebelum harga BBM naik, mereka tidak dikategorikan miskin. Ketika harga BBM naik, tekanan ekonomi yang tinggi pasti mereka rasakan. Itu bisa menjadikan mereka saat ini masuk ke kategori masyarakat miskin. Kemiskinan di Indonesia jelas berpotensi tinggi meningkat drastic.”
Ia menambahkan: “Program bantuan sosial yang mulai diberikan oleh pemerintah juga saya khawatir tidak cukup. Hitungannya kasarnya adalah mereka diberi tambahan pemasukan IDR 600 ribu dari pemerintah, tapi apakah dampak kenaikan harga di pasar itu di bawah IDR 600 ribu? Saya kira pasti lebih dan bahkan justru malah menjadikan neraca keuangan masyarakat menjadi minus.”
All photos credit: Ibnu Wibowo. Top photo: Paijo’s stall.